Minggu, 22 Mei 2011

Nothing Really Matters

Tanggal 26 Januari 2011 kami bertengkar. Bukan siaran langsung, tapi lewat teknologi "canggih" bernama Yahoo! Messenger--yang pada tahun 2000 justru memperkenalkan kami. Dia di kantor, gue di Bengawan Solo ITC Kuningan, di sela2 kerja sembari nunggu Freya selesai sekolah.

Topik awalnya: gagal liburan. Rencananya, bulan Februari kami bertiga akan liburan ke Yogya naik Air Asia. Tiketnya sudah dibeli dari tahun sebelumnya, waktu sedang ada promo 0 rupiah. Tujuan ke Yogya atas permintaan Victor, waktu gue telepon minta persetujuan. Jauh2 hari gue udah ingetin dia untuk mengajukan cuti. Dia bilang, nanti dong, kalau sudah dekat. Giliran sudah dekat, dia bilang nggak bisa. Entah karena dia yang telat ngajuin, nggak enak ngajuin, atau apalah. Masalahnya, ini bukan pertama kali kita gagal liburan. Bukan pertama kali juga dia gak bisa cuti. Malah kalau mau dihitung2 ya, selama 6 (?) tahun Victor kerja di Blitz, dia berhasil cuti tuh bisa dihitung dengan jari. Wong kadang2 cuti aja dia ke kantor... Wong kadang2 kita di luar kota aja dia mesti cari koneksi internet buat membenahi masalah di web/sistem. Jangankan di luar kota. Lagi makan malam bareng setelah belanja bulanan aja, makanan yang sudah dipesan gak kesentuh gara2 ada masalah ticketing festival anu/itu. Hadeeuh, udah macam dokter aja, 24/7 harus siap sedia dipanggil.

Sebagian diri gue bangga, berarti posisi Victor tidak mudah tergantikan di kantornya. Yang artinya, keahlian dan ketrampilan yang dia miliki dihargai betul di kantornya. Tapi sebagian dari diri gue juga manusia, seorang istri dan ibu, yang butuh suaminya. Bukan untuk bermanja2... Itu mah gue pasti langsung diketawain sama Victor... Cuma yaaah, masa' siiih, suami-istri ngobrol dalam sehari gak lebih dari 10 kalimat? Secara dia selalu udah berangkat waktu gue masih tidur, dan dia udah tidur waktu gue masih kerja di bawah (karena waktu kerja gue terpotong urusan nganter Freya sekolah... atau diganggu Freya kalau dia masih bangun). Palingan pagi2 kalau gue terbangun pas dia mau ngantor, gue cuma bilang, "Kak, jangan lupa tinggalin duit buat sekolah ya...". Malem2 pas ketemu bentar juga palingan ngomong, "Kamu weekend ini ngapain?". Berhubuuuuung, selain urusan kantor yang harus siap sedia 24/7 itu dia punya hobi fotografi yang bikin dia suka ngelayap pagi2 di akhir pekan.

Nah, jadi dari topik awal gagal liburan tadi, merembetlah ke segala macem uneg2 yang selama ini gue tahan2. Gue bilang ke Victor, "Kita ini kok kayak 2 orang yang kebetulan 1 kamar kost aja sih, bukan suami-istri. Kebetulan aja punya anak bareng." Yeah, gue tau, kasar banget. Tapi buat yang kenal gue (I mean yang bener2 kenal ya, bukan asal salaman doang), kalian pasti tau gue gak akan ngomong sekasar itu kalau gue masih bisa nahan. Pada hari itu, tidak. Gue gak terlalu inget apa persisnya yang gue lontarkan ke dia lewat tulisan di window YM saat itu. Sesuatu tentang merasa gak disayang (karena tiap ulang tahun boro2 gue dikasih kado... yang ada gue akhirnya beli kado buat diri sendiri aja... itu juga pake dimarahin karena suka nggak mikir kalau belanja), gak diprioritaskan (karena selaluuuu aja menangin urusan kantor ketimbang keluarga...), dlsb yang sejenis itu. You get the picture.

Pembicaraan merembet ke urusan duit, kebiasaan, dan teman2nya. Bagaimana gue akhir2 ini bukannya nabung malah pakai duit hasil kerja (sendiri) untuk beli iPhone-lah... beli tiket ke Bali-lah. Yah, gue jawab, itu karena gue butuh "reward" buat diri gue sendiri. Lah, abis gak ada yang beliin kado. Mau liburan aja gagal. Lagian, emang selama ini kalo dia beli kamera, lensa, or whatever, gue pernah ditanya gitu? Dia punya kamera berapa aja gue gak tau (yang pasti lebih dari 3, kalau dilihat kasat mata). Gue gak nyoba mikir itu ngabisin duit berapa. Belum lagi enlarger (buseeeet) dan segala macam perlengkapan lainnya. Ya udah, gue "urus" diri sendiri aja kalo gitu daripada kecewa... Lagian itu juga duit hasil keringat gue sendiri, bukan?

Pada suatu titik Victor bilang, "Kamu mau bebas?"
Gue terdiam.
Sesungguhnya gue nggak ngerti maksud pertanyaan itu. Maklum, cara ngomong kita sangat berbeda sampai kadang2 gue nggak ngerti dia itu lagi mengajukan pertanyaan atau pernyataan. Tapi apa pun maksudnya, jelas gue gak mau "bebas" kalau artinya nggak ada suami, nggak ada anak. Bukan, ternyata bukan itu yang gue mau kok. Gue cuma pingin dia tau perasaan gue selama ini. Gue cuma pingin dia liat "akibat"-nya. Call me selfish, if you want. Tapi yah, dengan kondisi kita ngobrol aja jarang, gimana coba ngasitau dia kalau bukan dengan "begitu".

Well anyway, sejak kejadian itu--yang menyebabkan gue nangis di BengSol, norak abis--selama kurang lebih 3 minggu gue seperti naik rollercoaster. Dari marah, sedih, sampai mati rasa. Sementara itu, gue liat Victor mulai berubah. Mulai menunjukkan perhatian. Pulang kantor mulai nanya, mau dibawain martabak gak? Pada suatu hari dia juga bawain gue kaos hitam bergambar kucing (padahal gue gak suka kucing hehe), sesuatu yang nggak pernah dia lakukan sebelumnya (ini gara2 pas berantem itu gue bilang, setidaknya gue kalo pergi2 kepikir beliin dia kaos kek atau apa gitu, karena tau dia gak pernah/males belanja baju).

Puncaknya, pada 14 Februari tiba2 dia kirim SMS dari kantor: "Happy Val's Day. Muah!" Sumpah. Selain jaman pacaran, dia gak pernah (sok) romantis gitu. Ya emang sih, waktu awal pacaran aja dia udah wanti2: "I don't do pacaran stuff"--artinya, jangan harap digandeng/dipeluk waktu jalan2, jangan harap digombali, dlsb. SMS itu, yang gue terima dalam kondisi lagi mati rasa, antara bikin trenyuh sekaligus geli. But most of all, gue tau bahwa dia berusaha. He's really trying. Dan itu membuat gue bertekad untuk juga berusaha, meet him halfway... Menerima usahanya dia dan bukan cuma diem nunggu dia usaha aja. Oh, ya... btw gue bales SMS itu dengan "Happy Valentine's Day juga" tanpa muah.

Victor & Freya di salah satu
permainan di Kebun Binatang, 2011
Tapi sejak saat itu boleh dibilang komunikasi kami jauh lebih baik. Bukan berarti gak pake berantem lagi. Itu sih gak mungkin terelakkan. Tapi setidaknya kehidupan kami bertiga dan koordinasi antara kami berdua untuk urusan rumah tangga mulai membaik. Dia kerja untuk membayar segala tagihan & utang yang masih menumpuk plus urusan sehari2, sementara gue kerja untuk bayar uang sekolah Freya. Di akhir pekan sebisa mungkin kami ngajak Freya main ke luar. Entah ke Pejaten Village untuk main di playground atau sekadar "Mickey Round" (istilahnya Freya untuk coin rides) atau ke Kebun Binatang. Itu usaha kami untuk membalas waktu2 di mana kami jarang ketemu di weekdays.

Bulan April, mestinya kami pergi ke Kuala Lumpur. Sama, gara2 punya tiket Air Asia yang lagi promo 0 rupiah juga. Sama juga, destinasinya yang pilih Victor. Cuti? Gak bisa lagi. Tapi kali ini ya sudahlah, daripada udah bikin paspor baru (3 biji pula) trus malah gak bisa pergi kan malah lebih konyol ketimbang memutuskan gak jadi pergi aja dan rugi tiket & penginapan yang udah dibayar. Keputusan itu kami ambil berdua di akhir Maret. Nggak enak, tapi somehow keputusan berdua rasanya lebih mantap dan gak bikin nyesel. :)

Tattoo yang bikin berantem. :D
Sebagai gantinya, akhir Maret gue ke Bandung. Gue bilang ke Victor bahwa gue akan ke Bandung, pulang hari. Tapi gue gak cerita bahwa misi gue ke Bandung hari itu adalah bikin tattoo kedua. :D Kenapa nggak bilang? Yah, simply karena gue tau Victor pasti bakal melancarkan ceramah yang bikin gue ilfil duluan buat berangkat kalau dia denger rencana gue. Padahal, for personal reasons (ceritanya lain kali), tattoo ini adalah bagian dari "kaul" yang pingin segera gue rampungkan mumpung ada dananya. Setelah bikin tattoo, dengan tololnya gue ngupload foto tattoo baru itu ke Twitter dan FB. Dan beberapa jam kemudian gue terima SMS dari Victor yang intinya ngomel, kenapa gak bilang2. Oh well. Sebenernya sih dia bukan ngomel soal tattoo-nya, tapi soal kesehatan gue. Karena beberapa hari sebelumnya tangan gue digigit serangga sampai gue demam dan mesti minum obat. Dia khawatir gue sakit di Bandung (apalagi trus ditattoo pula dalam kondisi gak terlalu fit) dan nyusahin temen yang waktu itu ikut bareng sama gue. Tapi tetep aja, gue gitu loh, langsung sebel aja digituin. Trus langsung deh bikin account Twitter baru yang gak di-follow sama dia. Hahaha... Stupid me.

Lala - Niar - Iwul
Belated Birthday Bertiga
April 2011
Tapi kondisi marah itu gak berlangsung lama kok. Beberapa hari setelah bikin tattoo baru itu, tepatnya 1 April, gue dan 2 orang bekas teman sekantor menggelar acara "belated birthday bertiga" (kami bertiga lahir di bulan Januari) di suatu tempat karaoke. Sekali2nya lho, gue bikin acara ulang tahun buat diri sendiri. Lagi2, gue juga gak melibatkan Victor dalam rencana itu. Gak mau dia ngomel liat berapa duit yang gue keluarin untuk acara itu. Tapi, setelah acara itu berjalan, dan tentunya Victor hadir di sana tanpa bertanya macem2, I'm really glad I did it. Di situ gue kembali menyaksikan "kegilaan" sang suami: nyanyi Welcome to the Jungle lengkap dengan aksi panggung. Hahahaha... Selama ini gue juga tau sih, dia gila... Gue juga udah pernah liat kegilaan dia. But it's been a long time, jadi pada saat itu gue rasanya seneng banget bahwa dia bisa sesenang itu sampai kegilaannya keluar. :)) That was the greatest reward out of the birthday bash.

Si Wagyu Steak Idaman
Tanggal 12 April 2011 kemarin 8 tahun sudah kami menikah. Kalau kata orang ada istilah "7-year itch", berarti kami sudah berhasil melewatinya. Sebenarnya dia "ngidam" wagyu steak, tapi sayang tepat pada hari itu Holycow steak malah tutup. Teganya. Tadinya kita udah mau undur "perayaan"-nya ke weekend, tapi ternyata hari itu juga kita akhirnya berangkat. Setelah muter2 naik motor berdua di bilangan Kemang, akhirnya kita memutuskan makan di Gourmet World. Ungkapan pertama yang dilontarkan Victor waktu (keburu) masuk ke tempat itu adalah, "Glek. Ini mah serius." Hahahaha... Tapi ya sudahlah, masa keluar lagi? Malu2in aja. Jadilah kita duduk di dekat jendela, milih makanan yang gak terlalu mahal (di antara menunya yang aduhai). Beruntunglah Victor akhirnya sempat mencicipi wagyu steak yang gue pesen (dia sendiri pesen Sloppy Joe aja), walaupun kita bertekad kapan2 harus ke Holycow Steak juga (walaupun bukan di bulan yang sama, biar ada duit dulu hihihi). Dan pada saat itu gue baru nyadar, bahwa 8 tahun lalu kami bikin perayaan pernikahan di Kemang (Hotel Kemang), eh, tahun ini ngerayainnya balik ke Kemang. Nice. :)

Tanggal 23 April gue sempet nemenin Victor ke Pasar Baru. Memang selama ini gue udah pesen ke dia, kalau mau ke Pasar Baru lagi bilang2 ya. Pingin ikut, abis tiap kali dari Pasar Baru, Victor pasti beli Crocs abal2. Hahaha... Penasaran aja, siapa tau gue bisa nemu Malindi baru dengan harga miring (bukan berarti Malindi yang gue punya sebelumnya asli hihihi). Setelah muter liat2 Crocs dan nemenin dia belanja ini itu urusan kamera, kami makan di Rice Bowl dan meninggalkan sedikit cerita di sana:

Kebetulan gue sudah punya tiket ke Bali (emang tuh, Air Asia bikin orang pingin liburan melulu) sejak Januari. Termasuk dalam program "ya udah gue urus diri sendiri aja" yang sayang kalau dihanguskan juga. Karena biar gimana pun, gue butuh liburan setelah kerja berbuku2 non-stop. Memang tahun lalunya gue juga baru aja ke Bali (tanpa Victor, tapi sama Freya & nyokap), nemenin Puni (adik) dan suami & mertuanya jalan2 di sana. Tapi kebayanglah, liburan sama anak kecil, orang tua, dan orang bule, actually gak bisa dibilang liburan yang santai. Jadi misi gue liburan sendiri ke Bali kali ini adalah: santai di pantai. Kebetulan sekali di Bali ada Maiki, teman dekat yang bersedia menampung gue di tempat tinggalnya. Udah kurang nyaman apa lagi coba.

Croc Abal2 dari Ps. Baru
Seperti biasa, pas gue ingetin bahwa tanggal 9-12 Mei gue mau ke Bali, Victor langsung mulai ceramah soal pengeluaran. Hhhhh... Capek deeeeh. Bukannya gak mau dengerin ya, dan bukannya gak ngerti. Tapi kalo orang diomongin sesuatu yang sama berkali2, entahlah, kalau buat gue, berasa dianggap tolol aja. Gue juga tau dirilah, gue bukan milyuner... Gue liburan ke Bali udah dengan rencana mau jadi turis kere kok, gak mesti diingetin. Jadi pada saat kita ngomongin itu, di restoran Rice Bowl, Pasar Baru, gue mewek lagi. Ih. Gue sedih sebenernya sih kelepasan mewek, karena gue tau Victor juga pasti sedih bikin istrinya nangis di depan umum. Dia sih nggak ngomong apa2 lagi abis itu. Cuma beliin gue (dan Freya) Crocs abal2 (yang katanya ori, jadi mahalan) di emperan Pasar Baru situ.


Later on, Victor ngasitau gue bahwa dia dan temen2nya akan ke Pulau Bira tanggal 7-8 Mei, persis sebelum gue berangkat ke Bali besoknya. Kami sebenernya sempat ngobrolin, enak juga ya kalau kita bertiga bisa liburan ke salah satu pulau itu. Tapi gimana, ada gak ya paket yang gak pake snorkeling. Secara gue gak bisa berenang dan Freya apalagi, jadi kan pasti bakal sia2 juga kalo ambil paket itu. Yah, baru sejauh itu aja pembicaraannya.

Menjelang liburan masing2 kami, tanggal 3 Mei cukup "bersejarah" buat kami (masing2 juga). Gue kebetulan pergi keluar dengan teman2 satu band (iya, istrinya ini emang pecicilan... umur 35 kok ngeband) ke Melly's. Rencana awal: ngebir santai. Sorenya gue udah SMS Victor, nanya dia pulang jam berapa, buat koordinasi nemenin Freya tidur, maksudnya. Dia bilang jam 8-an. Ternyata pas gue lagi di Melly's, gue dapet SMS dari nyokap bahwa Victor pulangnya jam 10-an... sambil membawa GITAR. Eh, buset, pikir gue. Punya hobi kok ganti2 hobi (asal tau aja, fotografi itu hanya salah satu hobi yang ditekuni Victor tapi siklus hidupnya kebetulan paling lama). Bener kan, mana pernah coba Victor beli sesuatu pake nanya dulu ke gue... :D Tapi sudahlah, karena udah lewat juga masa berantem itu, gue senyum2 aja baca kabar itu. Di sisi lain, rencana awal ngebir santai berubah out of hand. Tiba2 gue jadi minum nggak santai. Terhitung ada kali sekitar 7-8 jenis minuman yang gue konsumsi malam itu. Don't get me wrong, gue bukan orang yang gampang mabok. Pada saat itu pun gue masih berbahasa Indonesia (tanda gue belum mabok), walaupun rasanya gue ngomong udah gak pake saringan lagi. Pulanglah gue sekitar jam 12/1 malam, diantar seorang teman. Sampai naik ke kamar sih masih gapapa.. Victor dan Freya udah tidur, jadi gue juga langsung gabruk aja ke tempat tidur. Nah, gara2 gue main gabruk aja itu barangkali, gue tiba2 ngerasa pusing (dizzy, as in dunia muter) dan mual. Buru2lah gue berdiri, maksudnya mau ke kamar mandi di lantai bawah. Baru nutup pintu kamar mau ke tangga, tiba2 gue jackpot sodara2... Astagaaaaa, setelah 10 tahun lebih gak pernah jackpot! Daaaan, ternyata gue muntahin salah satu Crocs abal2nya Victor. Mampuuuus! Pasti besok gue abis dimarahin dia. Setelah bersih2 di kamar mandi, gue balik tidur.

Beginilah Victor dan gitarnya
di hari2 terakhir
Jam 3 pagi gue terbangun dengan kepala (cukup) jernih dan teringat: ya ampun, besok kalo Victor bangun pagi2 dan liat muntah gue di depan pintu gimana ya? Alhasil, bangunlah gue dengan sempoyongan, literally ngesot nurunin tangga, buat nyuci sepatu Victor dan ngepel depan kamar dengan handuk dan nutupin pake koran bekas. Besok paginya waktu Victor bangun pagi, gue terbangun (tapi nggak beranjak dari tempat tidur) dan denger dia buka pintu, diam sejenak, lalu melanjutkan aktivitasnya. Malamnya waktu pulang pun dia juga gak komentar apa2, walaupun gue tau persis dia pasti tau gue abis muntah di depan pintu karenaaaa waktu gue bangun untuk siap2 nganter Freya sekolah, gue liat sendiri hasil ngepel gue jam 3 pagi itu kagak ada apa2nya... Tetep aja keliatan... Hahahaha... Baguslah Victor gak komentar... Mungkin dia gak mau bikin istrinya malu hati. :D  Sebaliknya, dia malah semangat belajar gitar walaupun gue goda2in... :D



Freya bersama piala juara
singing competition-nya. :)
Tanggal 6 Mei, sehari sebelum Victor berencana pergi ke Pulau Bira, Freya ikut kompetisi nyanyi di sekolahnya. Victor nganter kita ke sekolah karena kompetisinya dimulai jam 8.30 pagi. Jadi sekalian dia berangkat ngantor. Gak disangka2, Freya menang juara pertama. Bukan cuma kompetisi nyanyi, tapi juga dia jadi pemenang harapan lomba mewarnai. Gue langsung SMS Victor saking bangganya. Freya juga bangga banget. Nah, tadinya, sore itu Victor SMS minta gue nemenin dia nyari celana pendek malamnya buat dibawa ke pulau. Tapi karena semalamnya gue kurang tidur dan mesti bangun pagi2 nganter Freya kompetisi, gue bilang, kasih gue waktu tidur 1 jam deh sebelumnya. Jadi dia masih nunggu di kantor ngerjain sesuatu, sementara gue tidur dulu di rumah. 1 jam kemudian, gue bangun, eh hujan. Gue telpon Victor, ternyata dia masih di kantor. Yah, terjebaklah dia di sana dan akhirnya kami gak jadi pergi beli celana pendek itu.

Besoknya, 7 Mei, harinya Victor berangkat ke pulau. Dia berangkat pagi2 sekali, jadi gue juga belum bangun, as usual. Lalu sampai malam... kok adem ayem aja ya ini orang? Akhirnya gue telepon. Gak diangkat2. Lalu gue SMS dan akhirnya malaman dia balas bahwa dia udah sampai, banyak makan ikan bakar, dan di sana banyak nyamuk. Baiklah. Setidak2nya gue tau dia selamat sampai tujuan and having a good time.

Freya & Mika main air
sebelum insiden jatuh dari jungle gym
8 Mei, Victor masih di pulau. Gue dan Freya janjian playdate sama Aya dan Mika di The Playground, Kemang. Yang tadinya mau pagi2 (jadi Freya udah dibangunin pagi2 banget), eh ternyata hujan deras. Akhirnya rencananya dipindah ke sore hari. Gue sempet SMS ke Victor soal itu. Sorenya, kami berhasil melaksanakan rencana main bareng itu. Bersama Aya & Mika juga ada Ganesh, suami Aya, dan Gabi, adik Mika. Freya main sampai menjelang maghrib, dan ditutup dengan kejadian mengenaskan: Freya jatuh dari jungle gym dan terbentur di bagian kepala belakang dan leher. Panik sepanik2nya, tapi gak boleh panik. Maklum aja, sekali2nya gue ngajak Freya main ke luar gak ada bapaknya kok ya kejadiannya sial banget. Untunglah, walaupun Freya nangis sejadi2nya, dia gapapa. Kebetulan juga Aya adalah dokter, jadi gue cukup tenang. Kami pulang naik taksi... dan sementara Freya tidur, gue berhasil nelpon Victor yang ternyata baru aja naik kapal untuk balik ke Jakarta. Langsung gue ceritain kabar itu. Kasian, kebayang deh Victor yang baru aja seneng2 di pulau denger anaknya jatuh perasaannya kayak apa... Mana dia lagi di kapal, bisa apa coba? Yah untungnya Freya gak muntah, dan tidurnya dia itu bukan karena kehilangan kesadaran tapi karena bangunnya kepagian, jadi ya emang udah capek & ngantuk aja. Setelah Victor pulang, Freya ternyata masih sempet kok bangun, makan malam, dan main sebentar sebelum tidur lagi. Gue udah deg2an aja, karena besoknya kan gantian gue yang ke Bali! :-/

Dengan kondisi khawatir dan kurang tidur, keesokan paginya pukul 2.45 gue udah bangun untuk siap2 dijemput ke airport. Setelah gue mandi, Victor ikutan bangun karena mau mulai ngerjain sidejobnya. Lalu gue berangkat naik Golden Bird ke airport. Di tengah jalan gue sempet SMS ke Victor untuk nyariin kamera nyokap di kamar, karena gue curiga gak kebawa (tapi ternyata sesampai di airport, gue cek ada kok kameranya). Di boarding lounge gue juga sempat SMS Victor, bilang ngantuk, masih 1 jam lagi boardingnya karena kepagian. Dia balas: "Pray and have fun". :)

Liburan Sendiri
Selama di Bali, gue merasa akhirnya bisa bernapas. Walaupun gue bilang ke Victor gue bukan mau bebas yang itu, tapi ternyata sekali2 liburan sendiri itu liberating. Lepas dari peran istri dan ibu walaupun cuma beberapa hari. Tapi justru saat diberi kebebasan itu gue malah ingat sama yang di rumah. Di hari pertama jalan2 ke toko buku bekas di Seminyak, gue malah telepon Victor nanya buku yang dia cari apa (karena gue inget dia selama ini gigih ke Gramedia dan toko buku online nyari satu buku... gue lupa judulnya... something Banal apa gitu...). Digangguin bli2 di pantai Double Six gue malah bilang gue punya suami (padahal kalau lagi libur sok single gitu ngapain juga ngaku punya suami, coba? hihihi). Di sana gue beliin celana pendek buat Victor, walaupun akhirnya dia toh udah ke pulau sebelum gue beli celana itu... Setiap malam gue malah rajin nelponin Freya... Jarak ternyata bagus juga sekali2, kok. Di Bali juga akhirnya gue curhat abis2an sama teman gue Maiki itu... Ttg bagaimana gue & Victor sudah mulai mencoba menata ulang lagi hidup berumah tangga kami (karena dia tau betapa galaunya gue di bulan2 belakangan ini). Intinya, di Bali gue merasa kepala gue akhirnya jernih. Gue siap balik ke Jakarta dan memulai kehidupan yang lebih baik lagi dengan Victor dan Freya. Apalagi baru2 ini juga gue diterima di penerbit lain sebagai penerjemah lepas juga, sehingga mestinya goal menghapuskan utang kartu kredit yang selama ini dikeluhkan Victor, serta urusan sekolah Freya, lebih cepat tercapai.

Tapi yah, seperti kalian tahu, Tuhan punya rencana lain. Salah satu permintaan terakhir Victor waktu gue udah di bandara, menjelang keberangkatan gue pulang ke Jakarta, adalah: brem. Setelah putaran pertama nggak berhasil nemu brem itu di boarding lounge, berkat desakan nyokap, akhirnya gue nemu juga. Walaupun pada akhirnya brem itu belum sempat terminum, hanya dikomentari "Kok sekarang kayak gitu ya bentuknya?" (gue beli yang botolnya model wine biar lebih ringkas, walaupun lebih mahal, bukan yang tiga botol di dalam keranjang anyaman seperti biasanya)... Begitu juga si celana pendek hijau tentara berlogo Bir Bintang yang gue bawa untuk oleh2. Celana itu hanya sempat dicoba di atas celana adidas orange yang dia pakai di hari dia berpulang, kira2 1 jam sebelumnya, di kamar kami, saat2 terakhir kami bermain bertiga--Victor, gue, dan Freya.

Pada saat Victor sudah berpulang, di rumah duka, gue sempat mengutarakan penyesalan gue karena pergi ke Bali sendirian sebelumnya. Tapi seorang teman/sepupu (gue sumpah lupa siapa yang ngomong, cuma perasaan gue orangnya cewek dan duduk di sebelah kiri gue), bilang bahwa dengan gue pergi sendiri sebenarnya gue memberi kesempatan Freya untuk berduaan dengan Victor (atau sebaliknya, kesempatan buat Victor berduaan dengan Freya), yang memang amat sangat langka. Waktu gue cerita soal celana pendek ini juga seorang teman, kali ini gue inget bahwa teman itu adalah Aya, orang pertama yang berusaha gue telepon pada saat Victor kejang2 dan gak sadarkan diri, bilang, "Itu artinya you have given him what he wants, what he needs, La..."

Time to go home, naturally...
The last sunset in Bali
May 12, 2011
Sehingga sekarang gue mencoba memandang kejadian ini dari sudut pandang yang berbeda. Melihatnya sebagai berakhirnya tugas Victor di bumi, tapi awal dari hidup kekalnya. Tersambungnya lengkungan menjadi lingkaran penuh, bundar. Seperti cincin yang seamless. Akhir adalah awal, awal adalah akhir. Seperti kata Victor, kita ini mestinya seperti angka "0" (makanya salah satu ID di dunia maya dia dulu ada yang "nullbrain"). Berantem bikin kita jadi -1 tapi cinta +1. So yeah, setelah berbaris2 kalimat gue tuliskan di sini, gue sampai pada kesimpulan bahwa in the end, NOTHING REALLY MATTERS. Nggak ada yang penting, sekaligus ketidakberadaan itu yang sesungguhnya penting (maaf kalau nggak ngerti, mungkin ini karena gue penerjemah aja hehehe). And with that, I'm going to try to pour myself out to this container... and be nothing, leave nothing.

Doakan saya, pemirsa! ;)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar