Rabu, 21 Desember 2011

Moving On & Letting Go

Pertengahan November lalu menandai 6 bulan sudah Victor berpulang. 6 bulan penuh penyesuaian: dari punya suami menjadi janda, dari bertiga jadi tinggal berdua sama Freya, dari punya temen ngobrol jadi sendirian, dari ibu rumah tangga jadi merangkap pencari nafkah utama. Seperti aktor yang lagi shooting beberapa film sekaligus pada saat yang sama (kalau gak mau dibilang sinetron kejar tayang), masing-masing peran sama pentingnya dan harus dilakoni dengan total kalau mau dibayar dan syukur-syukur dapat penghargaan. Dalam hal ini tentunya yang gue cari adalah keseimbangan, suatu kondisi di mana gue akhirnya bisa bilang dengan jujur that I'm OK, terutama kepada diri sendiri.

Sulit. Khususnya karena gue jenis orang yang menuntut banyak hal dari diri sendiri. Gue tau gue berhak untuk berduka dan mungkin sedikit (atau banyak) larut di dalamnya untuk jangka waktu tertentu. "Whenever you're ready," begitu mungkin kata orang. Tapi diri gue yang penuntut itu gak terima. Jadi walaupun tahu bahwa diri gue berhak, I keep telling myself that I cannot afford to grieve. Entah kenapa.

Untuk terus bisa berdiri tegak dan berfungsi sesuai tuntutan peran, gue melakukan banyak hal. Anything to keep my mind off things. I read books. I work extra-hard. I exercise. I distract myself. I go out with friends. I laugh. I sing. I drink. I doodle. I play games. I watch movies. I travel. I make sand castles. I eat.. sampai ke titik di mana gue sadar semua yang gue lakukan gak akan pernah cukup untuk menghilangkan rasa sakit, sedih, marah, takut, kangen, yang entah bagaimana komposisinya sehingga menghasilkan sesuatu bernama 'duka' itu. Dan yang pasti semua perasaan yang seharusnya gue rasakan, yang gue kesampingkan, gak akan hilang dengan sendirinya. Karena pada saat rasa itu hilang berarti yang terjadi gak punya arti. He would have no meaning. I have to face the feelings because I don't want to forget. I want to remember. Him. Dia bukan mantan pacar yang putus hubungan karena ada masalah. Even dengan mantan pacar aja hubungan gue baik-baik, masa suami yang 'pergi' bukan atas kemauannya sendiri mau gue lupain? Kurang pengingat apa lagi dengan adanya Freya, the living & breathing proof that he was here? Ada tattoo nama dia segede apaan di punggung gue pula. Gimana caranya coba?

Seorang teman berkata bahwa sepertinya gue menyatakan tidak akan menikah lagi dengan bikin tattoo nama Victor di badan gue. Sejujurnya waktu gue bikin tattoo itu gue kepikir hal yang sama, tapi niat gue mengabadikan sejarah hidup gue lebih besar. Lagipula gue percaya, siapa pun itu nantinya yang (mungkin) akan berjodoh dengan gue, if he truly loves me then he will respect my history. Bukan cuma tattoo gue yang bakal jadi tantangan, kok. Remember Freya?

So, yeah, I thought maybe I should start a new chapter. Kebetulan nih, pada suatu hari I came across a cute guy. Online (deja vu times three). Nggak, nggak kenal. He just happens to be a friend of a friend of mine. And he just happens to be cute. Dalam rangka setengah distraction dan setengah mencoba moving on, gue cerita ke beberapa teman dekat about this cute guy and my secret crush. And to cut the long story short, sebulan setelah gue menemukan cowok itu di dunia maya, salah satu teman dekat gue nekad ngajakin cowok itu ketemuan gue untuk coffee date. Dan kok ya cowok itu mau-maunya menerima ajakan itu. Damn. I'm so doomed. Maklumlah, udah 10 tahun gak beredar di bursa.

Tapi dengan semangat moving on tadi, gue coba jalanin & nikmatin aja proses ini. Di hari we supposedly meet, paginya gue ke makamnya Victor dulu. Kebetulan memang pas 6 bulan dan merasa perlu 'minta izin' aja. Oke, bukan minta izin, tapi minta restu kali ya. Walaupun geli sendiri, ngomong sama siapa gue di kuburan, orangnya gak di situ kok.. Well, tapi kebutuhan otak sama hati memang beda, jadi ya sudahlah.. Anyway, malam itu akhirnya gue dipertemukan dengan cowok lucu itu--yang ternyata aslinya jauh lebih cakep daripada fotonya. Please, just this once, let me use this word: Alamaaak! :))

Ok--ahem--where were we? Oh, right. We met. Yang maksudnya mestinya coffee date berdua, tapi masing2 bawa temen, sampai akhirnya jadi semeja panjang. He gave me his business card, he said, "See you around.", etc, etc, but that's not really the point. The point is I finally took a step forward in this moving on process. Akhirnya setelah 6 bulan gue mengubah marital status di FB dari "married to Victor Lumunon" jadi "widowed" dan nama "Lala Lumunon" kembali ke maiden name yang butuh ketelitian (bagi orang lain) untuk mengejanya. Kelihatannya sederhana, tapi buat gue itu sulit. It's letting go.

And guess what? It's not getting any easier. Setelah gue melakukan itu, iya sih, gue merasa somewhat liberated.. Tapi tiba-tiba gue juga merasa benar-benar sendirian.. It's like, setelah 6 bulan gue baru benar-benar sadar bahwa Victor udah gak ada. Dan masuklah gue ke episode depresi, saudara-saudara...

Awalnya maag gue kambuh. Gue pikir gara-gara kebiasaan baru minum kopi (decaf) di Starbucks. Atau gara-gara skim milk, yang menghasilkan gas di lambung dan bikin gue bolak-balik nongkrong di kamar mandi. Sakit kepala, yang gue pikir gara-gara asam lambungnya. Tapi kok lama-lama gue tidur melulu ya? Kok lama-lama gue gak ada keinginan buat keluar kamar, ketemu orang, bahkan beberapa kali janjian sama temen batal gara-gara ketakutan/keengganan gue bermanifestasi jadi penyakit yang akhirnya menghalangi gue untuk keluar rumah (to said friends, I'm sorry, but now you know why). Pada beberapa kesempatan there's this urge inside to jump from the balcony or hurt myself. Karena curiga akhirnya gue google "depression" dan membaca gejala-gejala yang memang gue rasakan. Setelah semingguan struggling with it, akhirnya gue mengaku ke beberapa teman dan Puni (adik gue) bahwa I might suffer from depression. And in their own ways they helped me through it. Literatur yang pernah gue baca bahwa mendekati tanggal ulang tahun orang yang meninggal (Victor's is Dec 6) adalah saat-saat paling berat ternyata benar juga. It felt like hell. Really. It's like everything you've tried to push aside, came back bigger and swallowed you like tsunami. Gue gak bisa bilang sekarang gue udah 100% pulih, tapi setidaknya gue sadar dan bisa mengenali tanda-tanda depresi dan mencoba bounce back to the surface as fast as I can. Crying helps. This, I mean, writing, hopefully helps, too.

Dan sekarang, tepatnya tanggal 17 Desember kemarin, sudah 7 bulan sejak Victor berpulang. Tanggal 18 gue tidur siang dan mimpi seperti ini:
Remember the cute guy? Well the dream starts with me and the cute guy, sitting on some kind of a cushioned bench side by side. Just the two of us, talking about I'm-not-sure-what but from the feeling of it I can say it was a pretty intimate chat. FYI, I was having a headache when I took a nap, so in that dream I also feel a little heavy and so I rest my head on his and he on mine. The scene changes and I am lying face down on my own bed. Someone rubs my head to ease my headache but I have no idea who that someone is. After a while, my headache starts to subside, the rubbing stops and I can hear the person leaves the room and closes the door. I get up to find out who that is, find myself in a hallway of a minimalist house with a door at the end of it. I start to walk towards the door and suddenly Victor appears out of nowhere, runs towards the door, turns back at me and smiles, then opens the door for me. When I step inside, I realize that it's actually a church and I'm walking down the aisle to my own wedding. The aisle is made of stepping stones, floating on the water. I continue to walk down the aisle, seeing Victor waaaay beyond the podium, separated by sea. I hear some higher being saying, "That's your past." so I assume that this wedding is not mine and Victor's but mine and someone else's. Alas, I woke up before I got to see the groom.

But then again, intinya bukan soal nikah lagi atau siapa mempelai prianya. Yang bikin gue benar-benar terhenyak waktu bangun dan ingat dengan jelas mimpi ini adalah ketika Victor senyum dan bukain pintu buat gue. I can't help to interpret it as he wants me to move on. He'd be happy if I do. He had to leave because he had to make way for something better. Well, maybe not necessarily better, but SOMETHING. As for the water element, it's an old friend of mine: fear. I have to face it to get to the other side. Mungkin juga yang gue liat jauh di belakang mimbar itu bukan Victor (saking jauhnya), tapi si mempelai pria. Yang hanya bisa gue capai kalau gue berhasil melintasi lautan ketakutan gue. Ketakutan untuk membuka diri, untuk menjalani kehidupan setelah kematian orang yang gue cintai, untuk kemungkinan ada sesuatu yang menunggu gue di ujung sana, whatever it is. And that cute guy? Bukan berarti jodoh gue pasti dia (walaupun gak nolak siiih hahaha), tapi sepertinya menyimbolkan an entirely new relationship. Elusan di kepala.. mungkin memang Victor, yang mau bilang ke gue that I don't need to worry. He loves me nonetheless even if I do move on. We've had our time together, we got Freya out of it, and my life doesn't need to stop just because his did.

Maybe I read too much into it. Whatever you say-lah. Yang penting buat gue, ini membantu. Sorenya gue akhirnya menguatkan diri beribadah ke gereja untuk pertama kalinya setelah 7 bulan. Gereja tempat gue dibaptis waktu kecil, sidi, katekisasi pernikahan bareng Victor, menikah, dan terakhir kali ibadah Paskah bareng Victor..

It's another step forward and I'm not gonna stop now. Thank you for letting me go. :-*