Kamis, 08 Maret 2012

Smell the Roses

Valentine kemarin gue nggak ada kerjaan dan akhirnya menyempatkan diri datang ke sebuah acara "berbagi pengalaman" di suatu mall Jakarta Selatan. Salah satu yang berbagi malam itu seorang perempuan yang selain cancer survivor juga ditinggal mati suaminya.  Hmm.. Sounds familiar?

Bukan, perempuan itu bukan gue.. walaupun kami sama-sama cancer survivor dan para suami kami berpulang di usia yang relatif muda.  Kalau katanya life begins at forty, yah berarti mereka belum sempat mengecap "hidup".

But it's actually pretty close.  Almarhum suami perempuan itu adalah teman SMA gue.  Bukan cuma satu alma mater, tapi juga satu angkatan, satu kelas dari kelas 1 sampai lulus, dan absen kami di kelas 3 bahkan berurutan sehingga di Buku Tahunan angkatan kami foto kami berderet.

Waktu teman gue itu meninggal, tepatnya pada tahun 2010, bukan cuma teman seangkatan yang kaget. Rasanya waktu itu Twitter pun ramai oleh berita tak terduga itu lantaran almarhum memang terbilang aktif bergaul di dunia nyata (kita sering banget nggak sengaja ketemu di mana-mana sampai bingung sebenarnya yang gaul tuh dia apa gue ya? Hehehe) maupun social media di dunia maya.  Kisah cintanya dengan sang istri pun cukup high profile, ya karena perjuangan mereka untuk menikah kendati beda keyakinan, juga karena faktor surviving cancer tadi.  Anyway, teman gue itu meninggal di usia 33 tahun (kalau nggak salah dia belum sempat berulangtahun di tahun 2010 itu) karena serangan jantung, di pelukan sang istri.  Hmm.. Kemiripan cerita gue dan perempuan ini semakin mengerikan ya?

Dan memang itu yang sempat menjadi pemikiran gue beberapa waktu lalu.  Cerita ini mungkin belum pernah gue ceritakan ke siapa pun di muka bumi.  Dan kalau pun gue memutuskan untuk berbagi cerita ini sekarang bukan bertujuan untuk mengenang masa lalu atau apa, tapi cuma... apa ya, nantilah kita bahas setelah ceritanya.

Jadi begini...

Waktu SMA, gue cukup sering nggak enak badan lalu permisi ke valet (sebutan untuk UKS di sekolah gue).  Pada suatu hari, gue terkapar di tempat tidur valet sampai jam pulang sekolah (atau mungkin pulang sekolahnya dipercepat karena guru nggak masuk. Sering kejadian seperti itu).  Teman gue, si almarhum suami perempuan tadi, datang ke valet membawakan tas gue dari kelas. Dia duduk di sebelah tempat tidur tempat gue terkapar lalu ngajak ngobrol.  Bagian lain dari obrolan, gue nggak inget.  Tapi ada satu bagian mengejutkan yang gue inget sampai sekarang (dan gak pernah gue ceritain ke orang lain), yaitu out of the blue, dia bilang, "Kita jadian aja yuk, La!"

I was like, "Huh?"  Yah, first and most of all, karena ucapan dia out of context.  Orang guenya lagi sakit, dianya juga gak pernah pedekate atau apa mendadak ngomong gini, dari mana ceritanya? Sebagian dari diri gue juga otomatis menyangsikan.  Nggak mungkin seriuslaaah.  Lagipula setau gue juga dulu dia lagi deketin cewek lain (yang kata kakak-kakak kelas mirip gue hahaha).  And lastly, walaupun predikat ini belum menempel pada gue saat itu, it takes one to know one: kami satu spesies alias buayawan/wati yang flirtatious. Hahaha...

Anyway, bukan di situ inti cerita ini sebenarnya (walaupun kalau kalian penasaran, nggak, kita nggak jadian kok. Loe gila apa? Hahaha).  Gue cuma merasa agak... sedikit... (well, banyak sih) "terganggu" dengan kemiripan jalan hidup gue dan perempuan yang akhirnya menjadi istri almarhum teman gue itu.  Coba ya, kalau nih, misalnya pada saat itu gue jadian sama teman gue itu, apa ujung-ujungnya nggak sama aja? Gue bakal kena kanker juga, trus survive, trus nikah sama dianya susah karena beda agama, trus setelah dia jadi suami gue pun meninggal duluan juga? Well, pemikiran sempit sih kalau percaya parallel universe, tapi kemungkinannya ya begitu, sami mawon.

So, yeah, sedikit banyak gue bisa mengambil kesimpulan bahwa: you can walk a different path, but your destination remains the same. Atau boleh juga dibalik: banyak jalan menuju Roma.  Mau naik pesawat kek, mau naik getek kek, ya ujungnya di sana, mau lewat jalan mana aja, pelajaran yang dipetik mana yang duluan, endingnya bakal tetap sama.  Cuma emang masalahnya kita nggak tau di jalan yang kita pilih untuk tempuh itu bakal ketemu apa aja.. ending-nya itu kapan dan kayak gimana wujudnya.  But that's what keeps life interesting, don't you think? Kalau gak menarik mah bunuh diri aja, gih.

Soooo (lagi), ya udah.. Ngapain mikirin ending-nya. Nikmatin aja jalannya. Ya nggak sih? Karena di situlah letak serunya menjalani hidup, kalau nggak mau dibilang "seni-nya" (agak-agak sotoy soalnya kedengarannya, kayak udah jadi maestro aja).  Walaupun sekarang gue jomblo, punya anak yang mesti dikasih makan pula (susah bok, memasarkan diri dengan spesifikasi seperti ini hihihi), gue yakin everything will be all right--ya "all right" dalam arti baik-baik saja, juga dalam arti "benar adanya".  Nggak ngerti? Nggak papa kok. :)

Ngomong emang gampang, kata orang.  Ets, yang penting gue usaha. Yuk, kita pindah ke Bali tahun 2013! ;)

Do Not Stand at My Grave and Weep

Do not stand at my grave and weep,
I am not there; I do not sleep.
I am a thousand winds that blow,
I am the diamond glints on snow,
I am the sun on ripened grain,
I am the gentle autumn rain.
When you awaken in the morning's hush
I am the sweet uplifting rush
Of quiet birds in circling flight.
I am the soft star-shine at night.
Do not stand at my grave and cry,
I am not there; I did not die.

{Mary Elizabeth Frye, 1932}

Rabu, 21 Desember 2011

Moving On & Letting Go

Pertengahan November lalu menandai 6 bulan sudah Victor berpulang. 6 bulan penuh penyesuaian: dari punya suami menjadi janda, dari bertiga jadi tinggal berdua sama Freya, dari punya temen ngobrol jadi sendirian, dari ibu rumah tangga jadi merangkap pencari nafkah utama. Seperti aktor yang lagi shooting beberapa film sekaligus pada saat yang sama (kalau gak mau dibilang sinetron kejar tayang), masing-masing peran sama pentingnya dan harus dilakoni dengan total kalau mau dibayar dan syukur-syukur dapat penghargaan. Dalam hal ini tentunya yang gue cari adalah keseimbangan, suatu kondisi di mana gue akhirnya bisa bilang dengan jujur that I'm OK, terutama kepada diri sendiri.

Sulit. Khususnya karena gue jenis orang yang menuntut banyak hal dari diri sendiri. Gue tau gue berhak untuk berduka dan mungkin sedikit (atau banyak) larut di dalamnya untuk jangka waktu tertentu. "Whenever you're ready," begitu mungkin kata orang. Tapi diri gue yang penuntut itu gak terima. Jadi walaupun tahu bahwa diri gue berhak, I keep telling myself that I cannot afford to grieve. Entah kenapa.

Untuk terus bisa berdiri tegak dan berfungsi sesuai tuntutan peran, gue melakukan banyak hal. Anything to keep my mind off things. I read books. I work extra-hard. I exercise. I distract myself. I go out with friends. I laugh. I sing. I drink. I doodle. I play games. I watch movies. I travel. I make sand castles. I eat.. sampai ke titik di mana gue sadar semua yang gue lakukan gak akan pernah cukup untuk menghilangkan rasa sakit, sedih, marah, takut, kangen, yang entah bagaimana komposisinya sehingga menghasilkan sesuatu bernama 'duka' itu. Dan yang pasti semua perasaan yang seharusnya gue rasakan, yang gue kesampingkan, gak akan hilang dengan sendirinya. Karena pada saat rasa itu hilang berarti yang terjadi gak punya arti. He would have no meaning. I have to face the feelings because I don't want to forget. I want to remember. Him. Dia bukan mantan pacar yang putus hubungan karena ada masalah. Even dengan mantan pacar aja hubungan gue baik-baik, masa suami yang 'pergi' bukan atas kemauannya sendiri mau gue lupain? Kurang pengingat apa lagi dengan adanya Freya, the living & breathing proof that he was here? Ada tattoo nama dia segede apaan di punggung gue pula. Gimana caranya coba?

Seorang teman berkata bahwa sepertinya gue menyatakan tidak akan menikah lagi dengan bikin tattoo nama Victor di badan gue. Sejujurnya waktu gue bikin tattoo itu gue kepikir hal yang sama, tapi niat gue mengabadikan sejarah hidup gue lebih besar. Lagipula gue percaya, siapa pun itu nantinya yang (mungkin) akan berjodoh dengan gue, if he truly loves me then he will respect my history. Bukan cuma tattoo gue yang bakal jadi tantangan, kok. Remember Freya?

So, yeah, I thought maybe I should start a new chapter. Kebetulan nih, pada suatu hari I came across a cute guy. Online (deja vu times three). Nggak, nggak kenal. He just happens to be a friend of a friend of mine. And he just happens to be cute. Dalam rangka setengah distraction dan setengah mencoba moving on, gue cerita ke beberapa teman dekat about this cute guy and my secret crush. And to cut the long story short, sebulan setelah gue menemukan cowok itu di dunia maya, salah satu teman dekat gue nekad ngajakin cowok itu ketemuan gue untuk coffee date. Dan kok ya cowok itu mau-maunya menerima ajakan itu. Damn. I'm so doomed. Maklumlah, udah 10 tahun gak beredar di bursa.

Tapi dengan semangat moving on tadi, gue coba jalanin & nikmatin aja proses ini. Di hari we supposedly meet, paginya gue ke makamnya Victor dulu. Kebetulan memang pas 6 bulan dan merasa perlu 'minta izin' aja. Oke, bukan minta izin, tapi minta restu kali ya. Walaupun geli sendiri, ngomong sama siapa gue di kuburan, orangnya gak di situ kok.. Well, tapi kebutuhan otak sama hati memang beda, jadi ya sudahlah.. Anyway, malam itu akhirnya gue dipertemukan dengan cowok lucu itu--yang ternyata aslinya jauh lebih cakep daripada fotonya. Please, just this once, let me use this word: Alamaaak! :))

Ok--ahem--where were we? Oh, right. We met. Yang maksudnya mestinya coffee date berdua, tapi masing2 bawa temen, sampai akhirnya jadi semeja panjang. He gave me his business card, he said, "See you around.", etc, etc, but that's not really the point. The point is I finally took a step forward in this moving on process. Akhirnya setelah 6 bulan gue mengubah marital status di FB dari "married to Victor Lumunon" jadi "widowed" dan nama "Lala Lumunon" kembali ke maiden name yang butuh ketelitian (bagi orang lain) untuk mengejanya. Kelihatannya sederhana, tapi buat gue itu sulit. It's letting go.

And guess what? It's not getting any easier. Setelah gue melakukan itu, iya sih, gue merasa somewhat liberated.. Tapi tiba-tiba gue juga merasa benar-benar sendirian.. It's like, setelah 6 bulan gue baru benar-benar sadar bahwa Victor udah gak ada. Dan masuklah gue ke episode depresi, saudara-saudara...

Awalnya maag gue kambuh. Gue pikir gara-gara kebiasaan baru minum kopi (decaf) di Starbucks. Atau gara-gara skim milk, yang menghasilkan gas di lambung dan bikin gue bolak-balik nongkrong di kamar mandi. Sakit kepala, yang gue pikir gara-gara asam lambungnya. Tapi kok lama-lama gue tidur melulu ya? Kok lama-lama gue gak ada keinginan buat keluar kamar, ketemu orang, bahkan beberapa kali janjian sama temen batal gara-gara ketakutan/keengganan gue bermanifestasi jadi penyakit yang akhirnya menghalangi gue untuk keluar rumah (to said friends, I'm sorry, but now you know why). Pada beberapa kesempatan there's this urge inside to jump from the balcony or hurt myself. Karena curiga akhirnya gue google "depression" dan membaca gejala-gejala yang memang gue rasakan. Setelah semingguan struggling with it, akhirnya gue mengaku ke beberapa teman dan Puni (adik gue) bahwa I might suffer from depression. And in their own ways they helped me through it. Literatur yang pernah gue baca bahwa mendekati tanggal ulang tahun orang yang meninggal (Victor's is Dec 6) adalah saat-saat paling berat ternyata benar juga. It felt like hell. Really. It's like everything you've tried to push aside, came back bigger and swallowed you like tsunami. Gue gak bisa bilang sekarang gue udah 100% pulih, tapi setidaknya gue sadar dan bisa mengenali tanda-tanda depresi dan mencoba bounce back to the surface as fast as I can. Crying helps. This, I mean, writing, hopefully helps, too.

Dan sekarang, tepatnya tanggal 17 Desember kemarin, sudah 7 bulan sejak Victor berpulang. Tanggal 18 gue tidur siang dan mimpi seperti ini:
Remember the cute guy? Well the dream starts with me and the cute guy, sitting on some kind of a cushioned bench side by side. Just the two of us, talking about I'm-not-sure-what but from the feeling of it I can say it was a pretty intimate chat. FYI, I was having a headache when I took a nap, so in that dream I also feel a little heavy and so I rest my head on his and he on mine. The scene changes and I am lying face down on my own bed. Someone rubs my head to ease my headache but I have no idea who that someone is. After a while, my headache starts to subside, the rubbing stops and I can hear the person leaves the room and closes the door. I get up to find out who that is, find myself in a hallway of a minimalist house with a door at the end of it. I start to walk towards the door and suddenly Victor appears out of nowhere, runs towards the door, turns back at me and smiles, then opens the door for me. When I step inside, I realize that it's actually a church and I'm walking down the aisle to my own wedding. The aisle is made of stepping stones, floating on the water. I continue to walk down the aisle, seeing Victor waaaay beyond the podium, separated by sea. I hear some higher being saying, "That's your past." so I assume that this wedding is not mine and Victor's but mine and someone else's. Alas, I woke up before I got to see the groom.

But then again, intinya bukan soal nikah lagi atau siapa mempelai prianya. Yang bikin gue benar-benar terhenyak waktu bangun dan ingat dengan jelas mimpi ini adalah ketika Victor senyum dan bukain pintu buat gue. I can't help to interpret it as he wants me to move on. He'd be happy if I do. He had to leave because he had to make way for something better. Well, maybe not necessarily better, but SOMETHING. As for the water element, it's an old friend of mine: fear. I have to face it to get to the other side. Mungkin juga yang gue liat jauh di belakang mimbar itu bukan Victor (saking jauhnya), tapi si mempelai pria. Yang hanya bisa gue capai kalau gue berhasil melintasi lautan ketakutan gue. Ketakutan untuk membuka diri, untuk menjalani kehidupan setelah kematian orang yang gue cintai, untuk kemungkinan ada sesuatu yang menunggu gue di ujung sana, whatever it is. And that cute guy? Bukan berarti jodoh gue pasti dia (walaupun gak nolak siiih hahaha), tapi sepertinya menyimbolkan an entirely new relationship. Elusan di kepala.. mungkin memang Victor, yang mau bilang ke gue that I don't need to worry. He loves me nonetheless even if I do move on. We've had our time together, we got Freya out of it, and my life doesn't need to stop just because his did.

Maybe I read too much into it. Whatever you say-lah. Yang penting buat gue, ini membantu. Sorenya gue akhirnya menguatkan diri beribadah ke gereja untuk pertama kalinya setelah 7 bulan. Gereja tempat gue dibaptis waktu kecil, sidi, katekisasi pernikahan bareng Victor, menikah, dan terakhir kali ibadah Paskah bareng Victor..

It's another step forward and I'm not gonna stop now. Thank you for letting me go. :-*

Minggu, 29 Mei 2011

Code Blue

Gue udah ngulang cerita ini, baik lewat bibir maupun jari, rasanya ratusan kali. Tapi baiklah gue tulis sekali lagi supaya semua yang pingin tau tapi gak berani nanya bisa baca di sini.

Tanggal 17 Mei 2011, Hari Raya Waisak.  Tanggal merah.  Pagi2 Victor udah ngilang.  Waktu gue telepon, katanya sedang di kantor, ngerjain sidejob kecil untuk kantornya Michelle (kalau nggak salah bikin banner).  Kenapa mesti di kantor? Karena sudah berbulan2 notebook-nya Victor rusak dan notebook punya gue gak dipasangin Flash sehingga dia gak bisa numpang kerja di sini.  Jadilah dia libur2 numpang komputer kantor... Katanya sih siangan balik.  Saat itu kondisi Victor sudah flu sekitar 2 hari.

Sekitar pukul 1 - 3 siang, gue berada di rumah Gita, tetangga depan rumah, bersama Freya.  Gue dan Gita ketemuan sama Dina, sementara Freya main sama anak2nya Gita, Khalisha (Kaka) & Xavier (Bebe).  Karena belum makan siang, jam 3-an kami pulang ke rumah.  Victor sudah ada di rumah dan pada saat gue makan siang, dia sedang nonton TV di ruang tengah rumah utama (kami tinggal di "sayap" tambahan rumah orang tua gue).

Setelah makan siang, gue sempat duduk di ruang tengah sementara Victor ke ruang tamu (entah ngapain, sepertinya di depan notebook yang gue pake buat nulis ini).  Flipping channels, menemukan Alice in Wonderland... tapi ngantuk.  (I even twitted about this).  Sehingga akhirnya gue memutuskan naik ke atas, ke kamar kami lalu akhirnya tertidur.  Entah jam berapa Freya menyusul gue ke tempat tidur, lalu ikutan tidur di sebelah gue.

Sekitar pukul 6 gue terbangun.  Freya juga.  Seperti yang (mungkin) kalian tahu, Freya cerewet.  Kalau sudah mulai ngomong, nggak bisa diem.  Karena masih agak ngantuk (dan juga flu), gue agak capek ngeladenin sendirian.  Maka akhirnya sekitar 6.30 gue nelpon Victor, pingin tau aja dia di mana sih, kok gak naik2... Kira2 kayak gini obrolan yang gak sampai semenit itu:

L: Di mana sih?
V: Di bawah, baru bangun. --> berarti tidur di sofa ruang tamu
L: Oooh... Naik kek...
V: Ngapain?
L: Ya main, kek bentar... Orang lagi libur juga.... 
V: Hmm, ya udah bentar.
(Telepon ditutup)

Beberapa menit kemudian Victor muncul di kamar.  Gue liat rambutnya aneh, jabrik gitu di belakang.  Gue komentarin, "Tumben, rambutmu bisa beda gitu..." Dia jawab, "Ya, tidurnya juga beda..."

Setelah itu dia rebahan di tempat tidur.  Kebetulan gue waktu itu gue tidur di sisi tempat tidur yang biasa dia tiduri (mungkin sambil nge-charge hp, soalnya lebih dekat colokan), Freya di sebelah gue, jadi Victor rebahan di sisi tempat tidur yang biasa gue tiduri.  Biasanya, kalau sedang flu, Victor emang banyak tidur... Nggak seperti gue yang walaupun tidur melulu tapi gak sembuh2 dan akhirnya toh harus ke dokter juga, dia biasanya tidur cukup beberapa hari lalu sembuh.  Jadi gue gak ngerasa aneh liat dia seharian itu tidur2an melulu.

Selagi rebahan di tempat tidur dan Freya nyerocos soal sticker dombanya (yang dia dapat dari Gita hasil main siang tadi), gue ingat Victor sempat minta Freya pijetin dia (entah ini beneran atau kode ke gue biar mijetin hihihi).  Tapi tentu nggak digubris sama Freya.  Gue cuma sempet elus2 sikunya dia yang mencuat ke atas (karena posisinya tangan ke atas nutupin muka).  Setelah itu dia berdiri untuk pake Vick's Vaporub dan sekalian mengoleskannya ke Freya (kami bertiga memang sama2 flu).

Setelah itu, karena gue liat celana pendek yang gue beliin di Bali masih teronggok di kaki tempat tidur, gue bilang ke Victor, "Itu celana pendeknya belum kamu cobain?"  Lalu dia langsung mencoba celana pendek itu, tapi didobel di atas celana training oranye yang lagi dia pakai (setelan kalau lagi gak enak badan, pasti pakai celana training itu plus sweater).  Pas dicoba, ternyata cukup.  Gue, "Cukup kan?"  Dia, "Cukup."  Gue, "Ya harus cukup, itu udah nomor paling gede! Hahaha..."

Setelah melepaskan kembali celana itu (dan gue curigai memasukkannya ke keranjang pakaian kotor, karena beberapa hari kemudian celana itu munculnya di tumpukan baju baru dicuci), dia sempat duduk di lantai, sandaran di lemari pakaian.  Saat itu gue inget Freya lagi seru2nya nempelin sticker domba di bajunya.  Baju gue juga ditempelin... Dan Victor pun gak luput.

Nggak lama setelah itu dia tampak siap2 keluar kamar.  Gue tanya, "Mau ke mana?"  Dia jawab, "Mau minta Mbak Sri beliin obat."  Lalu dia pun keluar kamar.

Gantian Mbak Sri yang naik ke atas, nanya gue mau nitip apa.  Katanya, Victor minta dibeliin roti bakar dan jeruk hangat.  Setelah mikir sebentar, gue minta dibeliin yang sama persis karena makan berat2 waktu lagi flu, tau sendiri, nggak bakalan ada rasanya.  Setelah Mbak Sri pergi beli pesanan, Victor tetap di bawah, nggak balik lagi ke atas (jadi itu terakhir kalinya interaksi antara Victor & Freya).

Sekitar 15 menit kemudian Mbak Sri masuk ke kamar membawa plastik berisi roti bakar & jeruk hangat untuk gue (yang punya Victor sudah diberikan di bawah).  Karena jeruk hangat harus diminum di gelas, gue lantas memutuskan untuk turun ke bawah, makan bareng sama Victor.

Gue mendapati Victor di depan TV, kalau nggak salah ingat nonton National Geographic Channel.  Gue duduk di sebelahnya, mulai makan roti bakar.  Setelah gue selesai makan roti bakar dan mulai minum jeruk hangat, Victor berdiri lalu bilang, "Aku capek... Pingin tiduran dulu sebentar..." lalu berjalan ke depan.  Gue pindah ke tempat duduk dia, dan seperti biasa, karena nggak tahan, ngomel liat dia masih ninggalin segala macem bekas makanan di sana.  Gue sempet teriak, "Trus ini makananmu, gelasmu, mau diapain??" sembari masukin bungkus roti bakar yang isinya belum habis ke dalam plastik hitam (dan lihat di dalam plastik hitam itu ada bungkus Decolgen yang udah abis), plus mindahin mug bekas kopi (ada ampasnya) yang entah dari kapan ada di situ.  Victor nggak nyaut dari depan.  Jadi ya udah, gue pindahin channel ke E!

Gue inget pada saat itu gue nonton "Keeping Up with the Kardashians", sambil nunggu premiere-nya Khloe & Lamar.  Mungkin pada saat itu sekitar pukul 7 atau 1/2 8 malam.  Gue inget nonton episode Khloe mau nikah itu gak lama, mungkin cuma 2x jeda iklan.  Gue baruuuu aja mau check-in ke GetGlue lewat hp, ketika tiba2 nyokap, yang kebetulan duduk mengetik di meja yang menghadap ke sofa ruang tamu, teriak2, "Eh, itu Victor kenapa? Kejang2!"  Gue langsung lompat dari tempat duduk lalu lari ke ruang tamu dan mendapati Victor sedang setengah duduk di sofa, tangan terlihat kejang2 dan mata melotot.  Gue langsung berlari mendekat, peluk, dengan panik bilang antara "kak?" "kenapa?" "mana yang sakit?" sama "ayo ke dokter" sembari berusaha menahan berat tubuhnya di pelukan gue.  Selain kejang2 tangan dan tubuh, kalau gue ingat2, bola matanya agak merah seperti bangun tidur, mengeluarkan suara mengerang seperti orang sesak/mencari napas.  Karena Victor berat, akhirnya gue gak kuat dan kami berdua jatuh terduduk di lantai ruang tamu, dengan Victor masih di pelukan gue... Sementara itu gue juga udah mulai teriak2 minta tolong nyokap untuk bawa ke RS.  Pada saat itu kondisinya di rumah kami tidak ada laki2.  Selain Victor hanya ada nyokap, gue, Freya, dan Mbak Sri (dengan posisi Mbak Sri & Freya di kamar atas, sayap tambahan rumah).  Nggak lama setelah Victor menggelepar2, dia sempat seperti berusaha menarik napas (terakhir) sebelum akhirnya dari mulutnya keluar liur dan kepalanya terkulai di dada gue.  Saat itu gue udah panik sepanik2nya... Gue cuma bisa bilang, "Stay! Kak, stay! Please!" sambil meraung2 nggak jelas.

Gue nggak ingat persisnya berapa lama karena buat gue itu berlangsung sangat cepat, tiba2 sudah ada 3 orang tetangga laki2 yang bantu mengangkat Victor ke mobil, Mbak Sri sudah di bawah membawakan hp dlsb, lalu gue berlari2 nyari sweater (karena gue dalam keadaan pake BH pun nggak!), hp, dompet, dan dompet Victor (karena ada kartu asuransi di sana) lalu masuk ke mobil nyokap.  Tujuan: Medistra, rumah sakit dalam radius paling dekat dari rumah kami.  Nyokap nyetir, gue di belakang sama Victor yang tak sadarkan diri.  Sepanjang perjalanan gue mencoba nelpon Aya (karena dokter), Ganesh (karena suaminya), Putra (siapa tau bisa bantu hubungi Aya/Ganesh), tapi ajaibnya pada hari itu semua gak ada yang angkat/nyambung.  As the last resort, gue twit Aya & Ganesh: "Victor kejang2 dan nggak sadar, gue bawa ke Medistra. I'm panicking."

Akhirnya kami sampai di UGD Medistra, nyokap lompat keluar dari mobil untuk ngasitau paramedis, paramedis ke mobil untuk angkat Victor keluar.  Pada saat itu ada salah satu yang nyeletuk, "Wah, ini posisinya duduk sih Bu... Kan jadi susah napasnya."  Sumpah pada saat itu gue langsung nyolot, "Gak usah nyalah2in deh Pak, mana saya tau mesti gimana!"  Gila ya, orang lagi panik masih mesti digituin...

Singkat cerita, Victor sudah dipindahkan ke tempat tidur UGD sementara nyokap parkir mobil.  Dokter yang jaga minta kronologis, sementara segala macam monitor, IV, dan pompa disambungkan ke tubuh Victor.  Dokter pada saat itu bilang, "Ibu, ini Bapak sudah nggak ada... Tapi kami akan coba usahakan 30 menit."  Sisi emosi gue langsung drop seketika dan gue inget gue nangis gak jelas... Tapi sisi logika gue masih bertahan optimis, karena tubuh Victor masih hangat, dlsb... Gue juga ingat sempat YM-an sama Gita (sekarang gue lupa mulainya masih di mobil atau pas udah sampai), karena Gita nanya ada apa (apparently Mbak Sri sempat ke rumah Gita nyari Yuri, abangnya, untuk bantu angkat Victor ke mobil tadi)... Dan rasanya gak lama kemudian Gita udah ada di samping gue, sama2 menyaksikan usaha dokter dan paramedis menyelamatkan nyawa Victor.  Gue juga ingat sempat YM dengan Maiki di Bali, ngasitau keadaan, dan minta dia hubungi Iqbal dan Imron...

Setelah 35 menit (menurut dokter), adrenalin dan pompa nggak membuahkan hasil, Victor dinyatakan berpulang. Menurut sertifikat, kematian dinyatakan pukul 20.35.  Baru saat itu reality hit me big time, dan gue mulai nangis sambil meluk jasad Victor yang udah gak bergerak... sambil berharap ini cuma mimpi, bohongan, apalah, yang ujungnya Victor bangun lagi.  Sorry, but I've never seen death so close before... Apalagi ngalamin sendiri.  Jadi yang ditulis di novel2 itu benar.  It felt so unreal.

So, that's what happened.  Gue ingat pada saat Victor sudah dipindahkan ke kamar jenazah, paramedis yang sama muncul lagi dan gue sempat tanya, "Jadi ini serangan jantung atau cardiac arrest ya?"  Dia, "Betul, Bu, cardiac arrest."  Tapi selanjutnya dia kembali nyerocos soal tadi di mobil posisinya duduk sehingga gak bisa napas, jadi gue males lagi dengernya. Grrr... Please, deh!

Anyway, karena gue juga awam soal cardiac arrest, saat ditanya oleh keluarga & teman yang datang baik malam itu, besoknya, dst, gue cuma bisa jawab "serangan jantung mendadak". Dan kalau ada yang tanya, "Emangnya selama ini punya [sakit] jantung?" gue cuma bisa jawab "Nggak."

Setelah beberapa hari, gue akhirnya meng-google "cardiac arrest" dan menemukan artikel Mbah Wiki.  Pada prinsipnya, "cardiac arrest" itu ya jantung berhenti melakukan pekerjaannya, yaitu memompa darah ke seluruh tubuh.  Cardiac arrest ini sinonim dengan clinical death, karena otomatis darah sudah tidak lagi mengalir di sistem dan orang yang mengalami tidak bisa lagi bernapas (kalau di film2 seperti ER, cardiac arrest ini disebut "code blue").  Karena mungkin saja bisa survive (walaupun kecil kemungkinannya), makanya disebut "clinical" death, belum death beneran.  Gue baca, orang yang mengalami cardiac arrest dan bisa survive biasanya karena tertangani dalam waktu 4-6 menit setelah kejadian (dengan CPR, persis seperti yang dilakukan di Medistra).  Menghitung jarak tempuh Mampang VI - Medistra sendiri yang makan sekitar 5 menit, urusan gotong-menggotong, dan kejang2 sampai jatuhnya kita berdua di lantai ruang tamu, jelas memang Victor ke UGD sudah [agak] terlambat untuk ditolong (walaupun pasti jauh lebih cepat ketimbang kita nelpon ambulans, lalu nunggu dia datang, karena ambulans dari Medistra ke tempat kami pun jalur memutarnya lebih jauh, yaitu ke Pancoran atau ke Kuningan).  Orang yang berhasil survive dari cardiac arrest pun belum tentu bisa pulih 100%, most likely mengalami cacat, karena begitu darah berhenti mengalir ke organ2 tubuh, sel2 pun mulai mati.

Setelah baca artikel ini, gue baru ngeh bahwa "cardiac arrest" dan "serangan jantung" itu beda.  "Cardiac arrest" atau berhentinya fungsi jantung, salah satunya memang bisa disebabkan oleh serangan jantung, tapi bisa juga karena hal2 lain, seperti kata Mbah Wiki:


"Hs and Ts" is the name for a mnemonic used to aid in remembering the possible causes of cardiac arrest.[7][16]
Hs
Ts


So, it could happen to anyone, walaupun ada beberapa faktor yang menyebabkan seseorang menjadi lebih berisiko (yah, samalah dengan penyakit2 lain).  Tapi yang pasti, gue tau sekarang bahwa itu tak terelakkan.  Kalau pun Victor survive, mungkin kondisinya pun pada saat ini "mengenaskan", nggak sama seperti Victor yang kita kenal.

Sehingga walaupun otak gue masih suka menayangkan adegan saat Victor kejang2, berusaha mencari napas, dan akhirnya terkulai di dada gue, melalui pengetahuan ini gue sudah bisa merelakan.  Kehilangan tentu, tapi rela sudah.  Semoga Victor tenang di rumah baru yang sudah disiapkan Tuhan di sana dan apa yang terjadi padanya bisa jadi pembelajaran buat kita yang masih di dunia, bahwa kesehatan itu aset nomor satu dan never ever take it for granted.

Tentang "Cardiac Arrest" dari sini.  Thanks, Wiki.

Jumat, 27 Mei 2011

And I Remember Why...

kLeiNebeeR, 2004-03-31, 06:31:41, on Victor
I'm not gonna mislead you all with "the wife's subjective testimonial", but I think the world needs to know why I love this guy.

For starters, he proves to me that it's what's inside that counts. He may not be the "dark, tall, and handsome man" every woman dreams about, but he's man enough to protect and stand by me and his family. He may be a pain in the @$$ with his 'jokes' at times of crisis, but actually he's a very deep and philosophical man (yeah, yeah...)

But what really makes me fall in love with him is his independence (he's definitely not a Mommy's boy!), his "survivor" attitude in living his life, and his faith in God. He's self-motivated (in certain areas, not in house-keeping areas... hehe), and he works hard toward his goals and dreams. Plus, he accepts my goofy-self the way it is (I'm sure he's as misunderstood as I am). :D

He's my mentor, partner, lover, and supporter. With him, this world looks even more promising everyday.


...then he "replied" my testimonial, one day before our 1st anniversary (according to the time stamp).


Victor, 2004-04-11, 14:45:16, on kLeiNebeeR
While all of you are craving for a PDA, The Almighty already gave me one. She goes off every minute (geez, give me the manual, please! I can't find the SNOOZE button in here ...).

Despite her sharp-mind, high-determinism, creativity and so on, she's still like a child more than you know. Wanna bet? Just give her any bear-related stuff and she will smile.

She is very talented. Realistic. Well-planned. Busy Woman. I really really want to install a fan on her.

Kamis, 26 Mei 2011

Ada Apa dengan Kereta Api?

Hari ini seminggu lebih 2 hari dari kepergian Victor. Rasanya masih suka kayak mimpi. Masih kadang2 ngarep dia buka pintu, jongkok di depan container hijaunya, milih kamera/lensa/filter/whatever mana yang mau dia bawa besok, lalu menjatuhkan diri ke kasur dengan cara yang selalu bikin gue kebangun, lalu sebentar kemudian ngorok. Semua rasanya baru kemarin. Bahkan pertemuan, masa pacaran, nikah, punya anak pun rasanya baru kemarin juga. Yang selama ini terlupa, tersesat di antara keribetan sehari2, mendadak muncul kembali... Dan itulah sebabnya gue menyempatkan diri nulis di sini...

Hello!
Walaupun Victor dan gue satu alma mater, satu fakultas, dan bahkan satu jurusan (ITB/FSRD/Desain), selama masa kuliah kami malah nggak pernah ketemu. Papasan... Mungkin. Tapi gue sama sekali gak inget ada makhluk berbentuk Victor jaman kuliah. Memang kami beda angkatan, dia 92, gue 94. Tapi studio kami berseberangan. Dia Desain Interior, gue Desain Komunikasi Visual. Masa sih berpapasan di lorong/jembatan/apalah nggak pernah sekali pun? Yah, yang pasti kami sama2 nggak inget wujud masing2 jaman kuliah.

Perkenalan pertama kami justru terjadi di dunia maya. Sekitar tahun 2000, saat anak2 SR sedang hobi bergaul di Yahoogroups (dahulu club). Kebetulan gue diperbantukan menjadi moderatornya. Pada suatu hari gue meng-approve requestnya menjadi anggota club. Agak lupa ID-nya apa... kalau nggak salah "vvigg". Jadi ketika beberapa hari berikutnya si "vvigg" ini nge-add gue di Yahoo! Messenger, gue tau ini anak SR, walaupun gak kenal. Lolos-lah dia ke dalam deretan nama teman di YM. Seingat gue, dia hari itu cuma say hello aja dan begitu gue balas malah diem. Dasar.

Tapi beberapa hari kemudian, orang ini nge-buzz gue lagi di YM. Ujug2 ngomong: itu kerjaannya masih ada, kalau mau... bla3x. Gue nerima pesennya kebingungan. Ngomongin apa sih ini orang? Setelah ditelisik lebih jauh, ealah... ternyata dia salah ngirim pesan. Maksudnya mau ngomong ke Rani (teman seangkatanku), malah ngirim ke gue yang gak tau apa2. Hihihi... Tapi justru dari salah kirim pesan itu obrolan kami berlanjut.

First Encounter
Setelah sekian kali ngobrol di YM dan masing2 udah tahu asal-usulnya (angkatan berapa, studio apa), dia tau bahwa gue sedang merencanakan "getaway" ke Bandung beberapa bulan... Dalam rangka? Menyembuhkan patah hati sama cowok yang (ternyata setelah tebak2 buah manggis) gak lain adalah teman seangkatan dia di SMA. Halah. Kok bisa...

Kebetulan, pas gue akan berangkat ke Bandung itu juga bertepatan dengan Pasar Seni tahun 2000. Jadilah kita janjian untuk ke Bandung bareng naik KA Parahyangan. Pada saat itu, terus terang, gue rada "ngeri" sama dia karena (entah bercanda apa nggak) sempat terjadi percakapan semacam ini:

vvigg: Nanti nginep di mana?
kleinebeer: Di hotel kali, belum tau juga.
vvigg: Ikut ya..
kleinebeer: Kalau tempat tidurnya cuma satu gimana?
vvigg: Ya udah, barengan aja.

Wakwaw. Masalahnya gue ketemu juga belom pernah sama orang ini. Masa tiba2 ngajakin "tidur bareng"? :))
Alhasil, gue langsung cari bala bantuan di Bandung untuk jemputan dan inepan. Biar gak terpaksa harus sekamar sama orang yang wujudnya belum pernah gue liat ini.

Menjelang hari H, akhirnya gue dan Victor dipertemukan oleh beberapa teman, yaitu Bayu yang seangkatan dengan Victor & Rani yang kebetulan berkantor di satu gedung dengan Victor. Sebelumnya gue sempet nanya bocoran ke Rani, "Yang mana sih orangnya? Kok gue nggak ngeh ya?" dan jawab Rani, "Cool gitu deh pokoknya." (Setelah pacaran dan nikah, kalau gue cerita ttg ini dia suka senyum2 bangga. Dasar.)

Pertemuan pertama kami terjadi di Sushi Tengoku, Radio Dalam (selanjutnya tempat ini kami sebut Headquarter). Kebetulan gue, Bayu, Rani, adalah penggemar sushi (sehingga kami menyebut diri Sushiyummi) Sementara Victor, mengaku gak suka sushi (seorang Sushiyucki) sehingga hari itu gue inget banget dia pesen sesuatu yang datang dalam bentuk ikan kembung panjang. Hahahaha... Teringat, baru2 ini dia juga sempat bilang selalu sial kalau makan di restoran Jepang. Pasti salah pesan. Setelah nikah juga Victor baru ngaku, bahwa dia bukannya nggak suka sushi. Tapi karena mahal, makanya dia mengaku nggak suka. :p

Kira2 kayak gini deh tampilannya waktu pertama
kali ketemu di Sushi Tengoku, th 2000
Tampilan Victor pada saat itu: kaos lengan panjang dengan celana antara jeans/corduroy merek Lea, kalung gigi (buaya?), topi seperti ember, tas selempang ungu, sepatu sandal dengan kaos kaki. Sama sekali aneh buat tampilan anak Jakarta. Tapi berhubung lama di SR, rasanya biasa aja liat makhluk berpenampilan begitu. Later on, menurut Rani, gue flirted with him the whole night. Padahal perasaan biasa aja, sumpah! Hahahaha... Mungkin memang pada dasarnya "I flirt, therefore I am" kali ya... Udah mendarah daging. Ngomong biasa aja bisa dianggap flirting. :p Yah yang pasti gue sih gak ada perasaan apa2 sama Victor pada saat itu. Wong saat itu gue masih patah hati dan gak jelas sama temen SMA-nya itu.

The Train Ride
Akhirnya semalam sebelum Pasar Seni 2000 (yang gue cek terjadinya tanggal 9 Juli 2000), gue dan Victor naik kereta api menuju Bandung. Rameeeee banget, sampai orang2 pada duduk di lorong gerbong, tapi toh kita berhasil dapet tempat duduk karena seinget gue, gue udah pesen duluan jauh2 hari (you know me-lah). Beruntung juga kita dapet 2 piring makanan terakhir yang tersedia malam itu. Gue makan nasi goreng, dia makan nasi rames.

Sepanjang perjalanan kita nggak terlalu banyak ngobrol. Tapi gue inget dia bawa fotokopian sesuatu, yang menurut dia adalah tutorial belajar javascript. Karena gue ke Bandung dalam rangka "penyamaran" ikut short course HTML, pembicaraan kita jadi di wilayah situ. Dia cerita bahwa seperti javascript ini, dia belajar HTML sendiri. Modal nekad. Dikasih proyek, di-iya-in, dan mau nggak mau harus dikerjain. Hahaha... Sakit jiwa ni anak, gue pikir. Later on, bahkan sampai hari2 terakhir menjelang kepergiannya, fotokopi serupa sering dibawanya pulang dari kantor. Tapi topiknya macem2. Kalau dulu javascript, lalu lama2 soal Flash, lalu soal gizi, wine, fotografi, dan terakhir soal chord gitar. You get the idea...

Sesampainya di Bandung, kami berpisah. Gue dijemput Ivan, anak 91, untuk diantar ke rumah Rani di Cigadung. Intinya gak jadilah kita sekamar bareng. Hahaha... Gue nggak inget apakah keesokan harinya pada saat Pasar Seni itu kita ketemu lagi atau nggak...

Out of the Blue
Sejak bulan Juli itu, gue mulai short course gue di Netscool (Unpad). Kadang2 kalo gue udah selesaiin tugas, gue suka nyolong2 waktu nyalain YM di komputer kelas. Lalu sempat ngobrol dengan Victor. Tapi yah, gitu2 aja... Nggak ada yang istimewa. Saat itu juga gue masih berstatus gak jelas dengan temannya itu, tapi kalau malam kerja bareng di majalah Trolley sebagai duo desainer (gak perlu disebut namanya juga tau kan, siapa yang dibicarakan? Hihihi).

Suatu hari di bulan Oktober (lagi2 kalau nggak salah inget), Victor menelepon. Jarang2 tuh, apa malah mungkin gak pernah selama ini. Dia nelpon gue saat orang2 sedang sholat Jumat, gue lagi di kos siap2 mau ke kampus (soalnya pas sholat Jumat biasanya anak2 SR suka "ngeceng" di depan Salman hahaha). Tumben amat, gue pikir. Dia sempet bilang dia mau ke Bandung. Kalau nggak salah memang sekitar bulan itu akan ada wisudaan plus Fancy Nite, sih. So yeah, silakan aja datang, nanti ketemuan. Perasaan gue? Masih biasa2 aja tuh.

Pada saat Fancy Nite, gue inget sempet ketemu dia. Gue dengan dandanan cewek-gothic-slash-punk, dia tanpa kostum. Gue asik lompat2 di panggung, dia nongkrong di depan studio Seni Grafis nonton ke bawah. Gue sempat naik sebentar ngobrol2, walaupun gak inget ngobrolin apa. Gue cuma ingat dia nunjuk si "status gak jelas" gue yang teman SMA-nya itu di panggung. :D

And... Bang!
Lalu pada suatu hari yang aneh di bulan November, gue ke warnet. Bertemu dengan Victor di dunia maya. Dan tiba2 dia bilang dia suka sama gue. I was like, HUH??? Kok bisa? Bagaimana ceritanya? Dalam rangka apa? Apparently, selama ngobrol2an sama gue di YM, dia merasa seperti pasien ketemu dokternya. Hmm... Siapa yang pasien, siapa yang dokter nih? Hahaha... Padahal kita kalo ngobrol di YM bener2 nggak ada juntrungannya. Aneh. Oh iya, pada saat ini gue inget ID-nya dia berganti jadi "kalengbir", semacam parodi dari ID gue "kleinebeer". :))

Pernyataan Victor itu gak gue tanggapi saat itu juga. Shock. Bukan shock dalam arti buruk ya... Tapi maksud gue, dia tau perasaan gue sama si "status gak jelas" itu gimana... Dia tau kondisi gue pada saat itu gimana... Dia tau betapa gue gak PD dengan diri sendiri saat itu... Bagaimana gue melarutkan diri dalam buaian alkohol dan rasa sakit (excessive piercing, melukai diri dengan gunting, dlsb). Trus kok tiba2 ada orang bilang suka. Suka gimana??

Gue cerita sama si "status gak jelas" gue itu bahwa Victor nembak gue. Gimana dong? :)) Dia malah mendukung. Lah... Ini piye sih... Makin gak jelas. :)) Tapi tetap tuh, gak gue jawab. Gue cuma bilang, yah get to know each other dulu deh... Lah selama ini ketemu aja jarang masa tiba2 pacaran? Gak bisa banget gue...

Sejak saat itu, gue cukup sering jalan bareng sama Victor. Pas gue ke Jakarta atau pas dia ke Bandung. Pernah waktu di Jakarta, gue jalan sama dia ke Plaza Senayan. Lalu pulangnya gue diantar Victor naik taksi. Belum juga sampai rumah, gue di-SMS sama si "gak jelas", nyuruh gue ke Plaza Senayan karena dia lagi di sana. Jadi begitu sampai rumah, Victor pulang, gue langsung naik taksi lagi balik ke Plaza Senayan nemuin yang satu lagi. Begitu juga pas Victor ke Bandung, mampir ke redaksi Trolley. Ada dong, si teman SMA-nya itu. Yang ada gue malah nyuekin Victor. Duh, pokoknya kalau diinget2 gue "jahat" banget deh, kayak gak niat.

Finally...
Makan bareng beberapa teman di suatu resto sushi, Cikini
...hubungan gue dengan "status gak jelas" itu menjadi jelas, seiring dengan kepulangan gue ke Jakarta for good juga setelah 6 bulanan di Bandung. Gue juga udah cukup lama mengenal Victor saat itu. Cukup sering jalan bareng, entah nonton, atau makan... Bahkan pernah jalan bareng sama Puni, adek gue juga... Selama itu pun Victor gak pernah mendesak minta jawaban... Maka pada tanggal 10 Februari 2001, malah balik gue yang nanya ke dia via SMS... Gue lupa kalimat persisnya, intinya nanya jadi gimana nih hubungan kita? Akan dilanjutkan ke jenjang lebih serius atau nggak? Secara selama tahun 2000 gue patah hati sama 3 orang (catat!), gue maleslah kalo dapetnya yang gak jelas lagi... Gue ingat di belakangnya gue tulis "Keretaku tak berhenti lama". Beberapa saat kemudian dia bales SMS, singkat padat jelas: "Yes." (yang setelah gue pikir2 kemudian mungkin dia cuma mencet jawaban template di HPnya waktu itu, dasar pemalas hahahaha).

Setelah itu kita teleponan dan dia ngajak ketemuan besoknya (Minggu, 11 Feb 2001) di Blok M Plaza... Katanya jalan pertama sebagai pacar. :)) Lupa juga nonton apa hari itu, sih. Gue cuma inget sama tangannya yang buset gede banget (baru merhatiin), yang akhirnya resmi boleh menggandeng gue. Hahahaha... Walaupun dia bilang that infamous "I don't do pacaran stuff" sehingga pada praktiknya gue jarang banget digandeng. :))

Sekali2nya bikin photobox,
menjelang nikahan tahun 2003
Gue juga inget, besoknya (Senin, 12 Feb 2001), Victor hari pertama kerja di Prisma yang lokasinya di Mampang, deket dari rumah gue. Walaupun nggak ngaruh juga, toh gue malah kerja di Tanah Kusir. But I mean, rentetan dari kita pacaran dan dia ngantor di kantor baru itu semacam lembaran baru buat gue dan dia. Walaupun melewati jalan yang berliku2 dan kadang2 nggak masuk di akal, gue bersyukur atas segala macam kebetulan yang mengantar ke pertemuan Victor dan gue... yang pada akhirnya mengantar gue ke hari ini. Dari naik kereta api ke Bandung bareng sampai naik bareng ke kereta api yang gak berhenti lama itu... dan akhirnya dia naik kereta api sendirian ke Stasiun Terakhir.

No regrets.

P.S. Si "status gak jelas" itu sekarang teman baik, lho. U know who U are. ;)

Minggu, 22 Mei 2011

Nothing Really Matters

Tanggal 26 Januari 2011 kami bertengkar. Bukan siaran langsung, tapi lewat teknologi "canggih" bernama Yahoo! Messenger--yang pada tahun 2000 justru memperkenalkan kami. Dia di kantor, gue di Bengawan Solo ITC Kuningan, di sela2 kerja sembari nunggu Freya selesai sekolah.

Topik awalnya: gagal liburan. Rencananya, bulan Februari kami bertiga akan liburan ke Yogya naik Air Asia. Tiketnya sudah dibeli dari tahun sebelumnya, waktu sedang ada promo 0 rupiah. Tujuan ke Yogya atas permintaan Victor, waktu gue telepon minta persetujuan. Jauh2 hari gue udah ingetin dia untuk mengajukan cuti. Dia bilang, nanti dong, kalau sudah dekat. Giliran sudah dekat, dia bilang nggak bisa. Entah karena dia yang telat ngajuin, nggak enak ngajuin, atau apalah. Masalahnya, ini bukan pertama kali kita gagal liburan. Bukan pertama kali juga dia gak bisa cuti. Malah kalau mau dihitung2 ya, selama 6 (?) tahun Victor kerja di Blitz, dia berhasil cuti tuh bisa dihitung dengan jari. Wong kadang2 cuti aja dia ke kantor... Wong kadang2 kita di luar kota aja dia mesti cari koneksi internet buat membenahi masalah di web/sistem. Jangankan di luar kota. Lagi makan malam bareng setelah belanja bulanan aja, makanan yang sudah dipesan gak kesentuh gara2 ada masalah ticketing festival anu/itu. Hadeeuh, udah macam dokter aja, 24/7 harus siap sedia dipanggil.

Sebagian diri gue bangga, berarti posisi Victor tidak mudah tergantikan di kantornya. Yang artinya, keahlian dan ketrampilan yang dia miliki dihargai betul di kantornya. Tapi sebagian dari diri gue juga manusia, seorang istri dan ibu, yang butuh suaminya. Bukan untuk bermanja2... Itu mah gue pasti langsung diketawain sama Victor... Cuma yaaah, masa' siiih, suami-istri ngobrol dalam sehari gak lebih dari 10 kalimat? Secara dia selalu udah berangkat waktu gue masih tidur, dan dia udah tidur waktu gue masih kerja di bawah (karena waktu kerja gue terpotong urusan nganter Freya sekolah... atau diganggu Freya kalau dia masih bangun). Palingan pagi2 kalau gue terbangun pas dia mau ngantor, gue cuma bilang, "Kak, jangan lupa tinggalin duit buat sekolah ya...". Malem2 pas ketemu bentar juga palingan ngomong, "Kamu weekend ini ngapain?". Berhubuuuuung, selain urusan kantor yang harus siap sedia 24/7 itu dia punya hobi fotografi yang bikin dia suka ngelayap pagi2 di akhir pekan.

Nah, jadi dari topik awal gagal liburan tadi, merembetlah ke segala macem uneg2 yang selama ini gue tahan2. Gue bilang ke Victor, "Kita ini kok kayak 2 orang yang kebetulan 1 kamar kost aja sih, bukan suami-istri. Kebetulan aja punya anak bareng." Yeah, gue tau, kasar banget. Tapi buat yang kenal gue (I mean yang bener2 kenal ya, bukan asal salaman doang), kalian pasti tau gue gak akan ngomong sekasar itu kalau gue masih bisa nahan. Pada hari itu, tidak. Gue gak terlalu inget apa persisnya yang gue lontarkan ke dia lewat tulisan di window YM saat itu. Sesuatu tentang merasa gak disayang (karena tiap ulang tahun boro2 gue dikasih kado... yang ada gue akhirnya beli kado buat diri sendiri aja... itu juga pake dimarahin karena suka nggak mikir kalau belanja), gak diprioritaskan (karena selaluuuu aja menangin urusan kantor ketimbang keluarga...), dlsb yang sejenis itu. You get the picture.

Pembicaraan merembet ke urusan duit, kebiasaan, dan teman2nya. Bagaimana gue akhir2 ini bukannya nabung malah pakai duit hasil kerja (sendiri) untuk beli iPhone-lah... beli tiket ke Bali-lah. Yah, gue jawab, itu karena gue butuh "reward" buat diri gue sendiri. Lah, abis gak ada yang beliin kado. Mau liburan aja gagal. Lagian, emang selama ini kalo dia beli kamera, lensa, or whatever, gue pernah ditanya gitu? Dia punya kamera berapa aja gue gak tau (yang pasti lebih dari 3, kalau dilihat kasat mata). Gue gak nyoba mikir itu ngabisin duit berapa. Belum lagi enlarger (buseeeet) dan segala macam perlengkapan lainnya. Ya udah, gue "urus" diri sendiri aja kalo gitu daripada kecewa... Lagian itu juga duit hasil keringat gue sendiri, bukan?

Pada suatu titik Victor bilang, "Kamu mau bebas?"
Gue terdiam.
Sesungguhnya gue nggak ngerti maksud pertanyaan itu. Maklum, cara ngomong kita sangat berbeda sampai kadang2 gue nggak ngerti dia itu lagi mengajukan pertanyaan atau pernyataan. Tapi apa pun maksudnya, jelas gue gak mau "bebas" kalau artinya nggak ada suami, nggak ada anak. Bukan, ternyata bukan itu yang gue mau kok. Gue cuma pingin dia tau perasaan gue selama ini. Gue cuma pingin dia liat "akibat"-nya. Call me selfish, if you want. Tapi yah, dengan kondisi kita ngobrol aja jarang, gimana coba ngasitau dia kalau bukan dengan "begitu".

Well anyway, sejak kejadian itu--yang menyebabkan gue nangis di BengSol, norak abis--selama kurang lebih 3 minggu gue seperti naik rollercoaster. Dari marah, sedih, sampai mati rasa. Sementara itu, gue liat Victor mulai berubah. Mulai menunjukkan perhatian. Pulang kantor mulai nanya, mau dibawain martabak gak? Pada suatu hari dia juga bawain gue kaos hitam bergambar kucing (padahal gue gak suka kucing hehe), sesuatu yang nggak pernah dia lakukan sebelumnya (ini gara2 pas berantem itu gue bilang, setidaknya gue kalo pergi2 kepikir beliin dia kaos kek atau apa gitu, karena tau dia gak pernah/males belanja baju).

Puncaknya, pada 14 Februari tiba2 dia kirim SMS dari kantor: "Happy Val's Day. Muah!" Sumpah. Selain jaman pacaran, dia gak pernah (sok) romantis gitu. Ya emang sih, waktu awal pacaran aja dia udah wanti2: "I don't do pacaran stuff"--artinya, jangan harap digandeng/dipeluk waktu jalan2, jangan harap digombali, dlsb. SMS itu, yang gue terima dalam kondisi lagi mati rasa, antara bikin trenyuh sekaligus geli. But most of all, gue tau bahwa dia berusaha. He's really trying. Dan itu membuat gue bertekad untuk juga berusaha, meet him halfway... Menerima usahanya dia dan bukan cuma diem nunggu dia usaha aja. Oh, ya... btw gue bales SMS itu dengan "Happy Valentine's Day juga" tanpa muah.

Victor & Freya di salah satu
permainan di Kebun Binatang, 2011
Tapi sejak saat itu boleh dibilang komunikasi kami jauh lebih baik. Bukan berarti gak pake berantem lagi. Itu sih gak mungkin terelakkan. Tapi setidaknya kehidupan kami bertiga dan koordinasi antara kami berdua untuk urusan rumah tangga mulai membaik. Dia kerja untuk membayar segala tagihan & utang yang masih menumpuk plus urusan sehari2, sementara gue kerja untuk bayar uang sekolah Freya. Di akhir pekan sebisa mungkin kami ngajak Freya main ke luar. Entah ke Pejaten Village untuk main di playground atau sekadar "Mickey Round" (istilahnya Freya untuk coin rides) atau ke Kebun Binatang. Itu usaha kami untuk membalas waktu2 di mana kami jarang ketemu di weekdays.

Bulan April, mestinya kami pergi ke Kuala Lumpur. Sama, gara2 punya tiket Air Asia yang lagi promo 0 rupiah juga. Sama juga, destinasinya yang pilih Victor. Cuti? Gak bisa lagi. Tapi kali ini ya sudahlah, daripada udah bikin paspor baru (3 biji pula) trus malah gak bisa pergi kan malah lebih konyol ketimbang memutuskan gak jadi pergi aja dan rugi tiket & penginapan yang udah dibayar. Keputusan itu kami ambil berdua di akhir Maret. Nggak enak, tapi somehow keputusan berdua rasanya lebih mantap dan gak bikin nyesel. :)

Tattoo yang bikin berantem. :D
Sebagai gantinya, akhir Maret gue ke Bandung. Gue bilang ke Victor bahwa gue akan ke Bandung, pulang hari. Tapi gue gak cerita bahwa misi gue ke Bandung hari itu adalah bikin tattoo kedua. :D Kenapa nggak bilang? Yah, simply karena gue tau Victor pasti bakal melancarkan ceramah yang bikin gue ilfil duluan buat berangkat kalau dia denger rencana gue. Padahal, for personal reasons (ceritanya lain kali), tattoo ini adalah bagian dari "kaul" yang pingin segera gue rampungkan mumpung ada dananya. Setelah bikin tattoo, dengan tololnya gue ngupload foto tattoo baru itu ke Twitter dan FB. Dan beberapa jam kemudian gue terima SMS dari Victor yang intinya ngomel, kenapa gak bilang2. Oh well. Sebenernya sih dia bukan ngomel soal tattoo-nya, tapi soal kesehatan gue. Karena beberapa hari sebelumnya tangan gue digigit serangga sampai gue demam dan mesti minum obat. Dia khawatir gue sakit di Bandung (apalagi trus ditattoo pula dalam kondisi gak terlalu fit) dan nyusahin temen yang waktu itu ikut bareng sama gue. Tapi tetep aja, gue gitu loh, langsung sebel aja digituin. Trus langsung deh bikin account Twitter baru yang gak di-follow sama dia. Hahaha... Stupid me.

Lala - Niar - Iwul
Belated Birthday Bertiga
April 2011
Tapi kondisi marah itu gak berlangsung lama kok. Beberapa hari setelah bikin tattoo baru itu, tepatnya 1 April, gue dan 2 orang bekas teman sekantor menggelar acara "belated birthday bertiga" (kami bertiga lahir di bulan Januari) di suatu tempat karaoke. Sekali2nya lho, gue bikin acara ulang tahun buat diri sendiri. Lagi2, gue juga gak melibatkan Victor dalam rencana itu. Gak mau dia ngomel liat berapa duit yang gue keluarin untuk acara itu. Tapi, setelah acara itu berjalan, dan tentunya Victor hadir di sana tanpa bertanya macem2, I'm really glad I did it. Di situ gue kembali menyaksikan "kegilaan" sang suami: nyanyi Welcome to the Jungle lengkap dengan aksi panggung. Hahahaha... Selama ini gue juga tau sih, dia gila... Gue juga udah pernah liat kegilaan dia. But it's been a long time, jadi pada saat itu gue rasanya seneng banget bahwa dia bisa sesenang itu sampai kegilaannya keluar. :)) That was the greatest reward out of the birthday bash.

Si Wagyu Steak Idaman
Tanggal 12 April 2011 kemarin 8 tahun sudah kami menikah. Kalau kata orang ada istilah "7-year itch", berarti kami sudah berhasil melewatinya. Sebenarnya dia "ngidam" wagyu steak, tapi sayang tepat pada hari itu Holycow steak malah tutup. Teganya. Tadinya kita udah mau undur "perayaan"-nya ke weekend, tapi ternyata hari itu juga kita akhirnya berangkat. Setelah muter2 naik motor berdua di bilangan Kemang, akhirnya kita memutuskan makan di Gourmet World. Ungkapan pertama yang dilontarkan Victor waktu (keburu) masuk ke tempat itu adalah, "Glek. Ini mah serius." Hahahaha... Tapi ya sudahlah, masa keluar lagi? Malu2in aja. Jadilah kita duduk di dekat jendela, milih makanan yang gak terlalu mahal (di antara menunya yang aduhai). Beruntunglah Victor akhirnya sempat mencicipi wagyu steak yang gue pesen (dia sendiri pesen Sloppy Joe aja), walaupun kita bertekad kapan2 harus ke Holycow Steak juga (walaupun bukan di bulan yang sama, biar ada duit dulu hihihi). Dan pada saat itu gue baru nyadar, bahwa 8 tahun lalu kami bikin perayaan pernikahan di Kemang (Hotel Kemang), eh, tahun ini ngerayainnya balik ke Kemang. Nice. :)

Tanggal 23 April gue sempet nemenin Victor ke Pasar Baru. Memang selama ini gue udah pesen ke dia, kalau mau ke Pasar Baru lagi bilang2 ya. Pingin ikut, abis tiap kali dari Pasar Baru, Victor pasti beli Crocs abal2. Hahaha... Penasaran aja, siapa tau gue bisa nemu Malindi baru dengan harga miring (bukan berarti Malindi yang gue punya sebelumnya asli hihihi). Setelah muter liat2 Crocs dan nemenin dia belanja ini itu urusan kamera, kami makan di Rice Bowl dan meninggalkan sedikit cerita di sana:

Kebetulan gue sudah punya tiket ke Bali (emang tuh, Air Asia bikin orang pingin liburan melulu) sejak Januari. Termasuk dalam program "ya udah gue urus diri sendiri aja" yang sayang kalau dihanguskan juga. Karena biar gimana pun, gue butuh liburan setelah kerja berbuku2 non-stop. Memang tahun lalunya gue juga baru aja ke Bali (tanpa Victor, tapi sama Freya & nyokap), nemenin Puni (adik) dan suami & mertuanya jalan2 di sana. Tapi kebayanglah, liburan sama anak kecil, orang tua, dan orang bule, actually gak bisa dibilang liburan yang santai. Jadi misi gue liburan sendiri ke Bali kali ini adalah: santai di pantai. Kebetulan sekali di Bali ada Maiki, teman dekat yang bersedia menampung gue di tempat tinggalnya. Udah kurang nyaman apa lagi coba.

Croc Abal2 dari Ps. Baru
Seperti biasa, pas gue ingetin bahwa tanggal 9-12 Mei gue mau ke Bali, Victor langsung mulai ceramah soal pengeluaran. Hhhhh... Capek deeeeh. Bukannya gak mau dengerin ya, dan bukannya gak ngerti. Tapi kalo orang diomongin sesuatu yang sama berkali2, entahlah, kalau buat gue, berasa dianggap tolol aja. Gue juga tau dirilah, gue bukan milyuner... Gue liburan ke Bali udah dengan rencana mau jadi turis kere kok, gak mesti diingetin. Jadi pada saat kita ngomongin itu, di restoran Rice Bowl, Pasar Baru, gue mewek lagi. Ih. Gue sedih sebenernya sih kelepasan mewek, karena gue tau Victor juga pasti sedih bikin istrinya nangis di depan umum. Dia sih nggak ngomong apa2 lagi abis itu. Cuma beliin gue (dan Freya) Crocs abal2 (yang katanya ori, jadi mahalan) di emperan Pasar Baru situ.


Later on, Victor ngasitau gue bahwa dia dan temen2nya akan ke Pulau Bira tanggal 7-8 Mei, persis sebelum gue berangkat ke Bali besoknya. Kami sebenernya sempat ngobrolin, enak juga ya kalau kita bertiga bisa liburan ke salah satu pulau itu. Tapi gimana, ada gak ya paket yang gak pake snorkeling. Secara gue gak bisa berenang dan Freya apalagi, jadi kan pasti bakal sia2 juga kalo ambil paket itu. Yah, baru sejauh itu aja pembicaraannya.

Menjelang liburan masing2 kami, tanggal 3 Mei cukup "bersejarah" buat kami (masing2 juga). Gue kebetulan pergi keluar dengan teman2 satu band (iya, istrinya ini emang pecicilan... umur 35 kok ngeband) ke Melly's. Rencana awal: ngebir santai. Sorenya gue udah SMS Victor, nanya dia pulang jam berapa, buat koordinasi nemenin Freya tidur, maksudnya. Dia bilang jam 8-an. Ternyata pas gue lagi di Melly's, gue dapet SMS dari nyokap bahwa Victor pulangnya jam 10-an... sambil membawa GITAR. Eh, buset, pikir gue. Punya hobi kok ganti2 hobi (asal tau aja, fotografi itu hanya salah satu hobi yang ditekuni Victor tapi siklus hidupnya kebetulan paling lama). Bener kan, mana pernah coba Victor beli sesuatu pake nanya dulu ke gue... :D Tapi sudahlah, karena udah lewat juga masa berantem itu, gue senyum2 aja baca kabar itu. Di sisi lain, rencana awal ngebir santai berubah out of hand. Tiba2 gue jadi minum nggak santai. Terhitung ada kali sekitar 7-8 jenis minuman yang gue konsumsi malam itu. Don't get me wrong, gue bukan orang yang gampang mabok. Pada saat itu pun gue masih berbahasa Indonesia (tanda gue belum mabok), walaupun rasanya gue ngomong udah gak pake saringan lagi. Pulanglah gue sekitar jam 12/1 malam, diantar seorang teman. Sampai naik ke kamar sih masih gapapa.. Victor dan Freya udah tidur, jadi gue juga langsung gabruk aja ke tempat tidur. Nah, gara2 gue main gabruk aja itu barangkali, gue tiba2 ngerasa pusing (dizzy, as in dunia muter) dan mual. Buru2lah gue berdiri, maksudnya mau ke kamar mandi di lantai bawah. Baru nutup pintu kamar mau ke tangga, tiba2 gue jackpot sodara2... Astagaaaaa, setelah 10 tahun lebih gak pernah jackpot! Daaaan, ternyata gue muntahin salah satu Crocs abal2nya Victor. Mampuuuus! Pasti besok gue abis dimarahin dia. Setelah bersih2 di kamar mandi, gue balik tidur.

Beginilah Victor dan gitarnya
di hari2 terakhir
Jam 3 pagi gue terbangun dengan kepala (cukup) jernih dan teringat: ya ampun, besok kalo Victor bangun pagi2 dan liat muntah gue di depan pintu gimana ya? Alhasil, bangunlah gue dengan sempoyongan, literally ngesot nurunin tangga, buat nyuci sepatu Victor dan ngepel depan kamar dengan handuk dan nutupin pake koran bekas. Besok paginya waktu Victor bangun pagi, gue terbangun (tapi nggak beranjak dari tempat tidur) dan denger dia buka pintu, diam sejenak, lalu melanjutkan aktivitasnya. Malamnya waktu pulang pun dia juga gak komentar apa2, walaupun gue tau persis dia pasti tau gue abis muntah di depan pintu karenaaaa waktu gue bangun untuk siap2 nganter Freya sekolah, gue liat sendiri hasil ngepel gue jam 3 pagi itu kagak ada apa2nya... Tetep aja keliatan... Hahahaha... Baguslah Victor gak komentar... Mungkin dia gak mau bikin istrinya malu hati. :D  Sebaliknya, dia malah semangat belajar gitar walaupun gue goda2in... :D



Freya bersama piala juara
singing competition-nya. :)
Tanggal 6 Mei, sehari sebelum Victor berencana pergi ke Pulau Bira, Freya ikut kompetisi nyanyi di sekolahnya. Victor nganter kita ke sekolah karena kompetisinya dimulai jam 8.30 pagi. Jadi sekalian dia berangkat ngantor. Gak disangka2, Freya menang juara pertama. Bukan cuma kompetisi nyanyi, tapi juga dia jadi pemenang harapan lomba mewarnai. Gue langsung SMS Victor saking bangganya. Freya juga bangga banget. Nah, tadinya, sore itu Victor SMS minta gue nemenin dia nyari celana pendek malamnya buat dibawa ke pulau. Tapi karena semalamnya gue kurang tidur dan mesti bangun pagi2 nganter Freya kompetisi, gue bilang, kasih gue waktu tidur 1 jam deh sebelumnya. Jadi dia masih nunggu di kantor ngerjain sesuatu, sementara gue tidur dulu di rumah. 1 jam kemudian, gue bangun, eh hujan. Gue telpon Victor, ternyata dia masih di kantor. Yah, terjebaklah dia di sana dan akhirnya kami gak jadi pergi beli celana pendek itu.

Besoknya, 7 Mei, harinya Victor berangkat ke pulau. Dia berangkat pagi2 sekali, jadi gue juga belum bangun, as usual. Lalu sampai malam... kok adem ayem aja ya ini orang? Akhirnya gue telepon. Gak diangkat2. Lalu gue SMS dan akhirnya malaman dia balas bahwa dia udah sampai, banyak makan ikan bakar, dan di sana banyak nyamuk. Baiklah. Setidak2nya gue tau dia selamat sampai tujuan and having a good time.

Freya & Mika main air
sebelum insiden jatuh dari jungle gym
8 Mei, Victor masih di pulau. Gue dan Freya janjian playdate sama Aya dan Mika di The Playground, Kemang. Yang tadinya mau pagi2 (jadi Freya udah dibangunin pagi2 banget), eh ternyata hujan deras. Akhirnya rencananya dipindah ke sore hari. Gue sempet SMS ke Victor soal itu. Sorenya, kami berhasil melaksanakan rencana main bareng itu. Bersama Aya & Mika juga ada Ganesh, suami Aya, dan Gabi, adik Mika. Freya main sampai menjelang maghrib, dan ditutup dengan kejadian mengenaskan: Freya jatuh dari jungle gym dan terbentur di bagian kepala belakang dan leher. Panik sepanik2nya, tapi gak boleh panik. Maklum aja, sekali2nya gue ngajak Freya main ke luar gak ada bapaknya kok ya kejadiannya sial banget. Untunglah, walaupun Freya nangis sejadi2nya, dia gapapa. Kebetulan juga Aya adalah dokter, jadi gue cukup tenang. Kami pulang naik taksi... dan sementara Freya tidur, gue berhasil nelpon Victor yang ternyata baru aja naik kapal untuk balik ke Jakarta. Langsung gue ceritain kabar itu. Kasian, kebayang deh Victor yang baru aja seneng2 di pulau denger anaknya jatuh perasaannya kayak apa... Mana dia lagi di kapal, bisa apa coba? Yah untungnya Freya gak muntah, dan tidurnya dia itu bukan karena kehilangan kesadaran tapi karena bangunnya kepagian, jadi ya emang udah capek & ngantuk aja. Setelah Victor pulang, Freya ternyata masih sempet kok bangun, makan malam, dan main sebentar sebelum tidur lagi. Gue udah deg2an aja, karena besoknya kan gantian gue yang ke Bali! :-/

Dengan kondisi khawatir dan kurang tidur, keesokan paginya pukul 2.45 gue udah bangun untuk siap2 dijemput ke airport. Setelah gue mandi, Victor ikutan bangun karena mau mulai ngerjain sidejobnya. Lalu gue berangkat naik Golden Bird ke airport. Di tengah jalan gue sempet SMS ke Victor untuk nyariin kamera nyokap di kamar, karena gue curiga gak kebawa (tapi ternyata sesampai di airport, gue cek ada kok kameranya). Di boarding lounge gue juga sempat SMS Victor, bilang ngantuk, masih 1 jam lagi boardingnya karena kepagian. Dia balas: "Pray and have fun". :)

Liburan Sendiri
Selama di Bali, gue merasa akhirnya bisa bernapas. Walaupun gue bilang ke Victor gue bukan mau bebas yang itu, tapi ternyata sekali2 liburan sendiri itu liberating. Lepas dari peran istri dan ibu walaupun cuma beberapa hari. Tapi justru saat diberi kebebasan itu gue malah ingat sama yang di rumah. Di hari pertama jalan2 ke toko buku bekas di Seminyak, gue malah telepon Victor nanya buku yang dia cari apa (karena gue inget dia selama ini gigih ke Gramedia dan toko buku online nyari satu buku... gue lupa judulnya... something Banal apa gitu...). Digangguin bli2 di pantai Double Six gue malah bilang gue punya suami (padahal kalau lagi libur sok single gitu ngapain juga ngaku punya suami, coba? hihihi). Di sana gue beliin celana pendek buat Victor, walaupun akhirnya dia toh udah ke pulau sebelum gue beli celana itu... Setiap malam gue malah rajin nelponin Freya... Jarak ternyata bagus juga sekali2, kok. Di Bali juga akhirnya gue curhat abis2an sama teman gue Maiki itu... Ttg bagaimana gue & Victor sudah mulai mencoba menata ulang lagi hidup berumah tangga kami (karena dia tau betapa galaunya gue di bulan2 belakangan ini). Intinya, di Bali gue merasa kepala gue akhirnya jernih. Gue siap balik ke Jakarta dan memulai kehidupan yang lebih baik lagi dengan Victor dan Freya. Apalagi baru2 ini juga gue diterima di penerbit lain sebagai penerjemah lepas juga, sehingga mestinya goal menghapuskan utang kartu kredit yang selama ini dikeluhkan Victor, serta urusan sekolah Freya, lebih cepat tercapai.

Tapi yah, seperti kalian tahu, Tuhan punya rencana lain. Salah satu permintaan terakhir Victor waktu gue udah di bandara, menjelang keberangkatan gue pulang ke Jakarta, adalah: brem. Setelah putaran pertama nggak berhasil nemu brem itu di boarding lounge, berkat desakan nyokap, akhirnya gue nemu juga. Walaupun pada akhirnya brem itu belum sempat terminum, hanya dikomentari "Kok sekarang kayak gitu ya bentuknya?" (gue beli yang botolnya model wine biar lebih ringkas, walaupun lebih mahal, bukan yang tiga botol di dalam keranjang anyaman seperti biasanya)... Begitu juga si celana pendek hijau tentara berlogo Bir Bintang yang gue bawa untuk oleh2. Celana itu hanya sempat dicoba di atas celana adidas orange yang dia pakai di hari dia berpulang, kira2 1 jam sebelumnya, di kamar kami, saat2 terakhir kami bermain bertiga--Victor, gue, dan Freya.

Pada saat Victor sudah berpulang, di rumah duka, gue sempat mengutarakan penyesalan gue karena pergi ke Bali sendirian sebelumnya. Tapi seorang teman/sepupu (gue sumpah lupa siapa yang ngomong, cuma perasaan gue orangnya cewek dan duduk di sebelah kiri gue), bilang bahwa dengan gue pergi sendiri sebenarnya gue memberi kesempatan Freya untuk berduaan dengan Victor (atau sebaliknya, kesempatan buat Victor berduaan dengan Freya), yang memang amat sangat langka. Waktu gue cerita soal celana pendek ini juga seorang teman, kali ini gue inget bahwa teman itu adalah Aya, orang pertama yang berusaha gue telepon pada saat Victor kejang2 dan gak sadarkan diri, bilang, "Itu artinya you have given him what he wants, what he needs, La..."

Time to go home, naturally...
The last sunset in Bali
May 12, 2011
Sehingga sekarang gue mencoba memandang kejadian ini dari sudut pandang yang berbeda. Melihatnya sebagai berakhirnya tugas Victor di bumi, tapi awal dari hidup kekalnya. Tersambungnya lengkungan menjadi lingkaran penuh, bundar. Seperti cincin yang seamless. Akhir adalah awal, awal adalah akhir. Seperti kata Victor, kita ini mestinya seperti angka "0" (makanya salah satu ID di dunia maya dia dulu ada yang "nullbrain"). Berantem bikin kita jadi -1 tapi cinta +1. So yeah, setelah berbaris2 kalimat gue tuliskan di sini, gue sampai pada kesimpulan bahwa in the end, NOTHING REALLY MATTERS. Nggak ada yang penting, sekaligus ketidakberadaan itu yang sesungguhnya penting (maaf kalau nggak ngerti, mungkin ini karena gue penerjemah aja hehehe). And with that, I'm going to try to pour myself out to this container... and be nothing, leave nothing.

Doakan saya, pemirsa! ;)