Kamis, 08 Maret 2012

Smell the Roses

Valentine kemarin gue nggak ada kerjaan dan akhirnya menyempatkan diri datang ke sebuah acara "berbagi pengalaman" di suatu mall Jakarta Selatan. Salah satu yang berbagi malam itu seorang perempuan yang selain cancer survivor juga ditinggal mati suaminya.  Hmm.. Sounds familiar?

Bukan, perempuan itu bukan gue.. walaupun kami sama-sama cancer survivor dan para suami kami berpulang di usia yang relatif muda.  Kalau katanya life begins at forty, yah berarti mereka belum sempat mengecap "hidup".

But it's actually pretty close.  Almarhum suami perempuan itu adalah teman SMA gue.  Bukan cuma satu alma mater, tapi juga satu angkatan, satu kelas dari kelas 1 sampai lulus, dan absen kami di kelas 3 bahkan berurutan sehingga di Buku Tahunan angkatan kami foto kami berderet.

Waktu teman gue itu meninggal, tepatnya pada tahun 2010, bukan cuma teman seangkatan yang kaget. Rasanya waktu itu Twitter pun ramai oleh berita tak terduga itu lantaran almarhum memang terbilang aktif bergaul di dunia nyata (kita sering banget nggak sengaja ketemu di mana-mana sampai bingung sebenarnya yang gaul tuh dia apa gue ya? Hehehe) maupun social media di dunia maya.  Kisah cintanya dengan sang istri pun cukup high profile, ya karena perjuangan mereka untuk menikah kendati beda keyakinan, juga karena faktor surviving cancer tadi.  Anyway, teman gue itu meninggal di usia 33 tahun (kalau nggak salah dia belum sempat berulangtahun di tahun 2010 itu) karena serangan jantung, di pelukan sang istri.  Hmm.. Kemiripan cerita gue dan perempuan ini semakin mengerikan ya?

Dan memang itu yang sempat menjadi pemikiran gue beberapa waktu lalu.  Cerita ini mungkin belum pernah gue ceritakan ke siapa pun di muka bumi.  Dan kalau pun gue memutuskan untuk berbagi cerita ini sekarang bukan bertujuan untuk mengenang masa lalu atau apa, tapi cuma... apa ya, nantilah kita bahas setelah ceritanya.

Jadi begini...

Waktu SMA, gue cukup sering nggak enak badan lalu permisi ke valet (sebutan untuk UKS di sekolah gue).  Pada suatu hari, gue terkapar di tempat tidur valet sampai jam pulang sekolah (atau mungkin pulang sekolahnya dipercepat karena guru nggak masuk. Sering kejadian seperti itu).  Teman gue, si almarhum suami perempuan tadi, datang ke valet membawakan tas gue dari kelas. Dia duduk di sebelah tempat tidur tempat gue terkapar lalu ngajak ngobrol.  Bagian lain dari obrolan, gue nggak inget.  Tapi ada satu bagian mengejutkan yang gue inget sampai sekarang (dan gak pernah gue ceritain ke orang lain), yaitu out of the blue, dia bilang, "Kita jadian aja yuk, La!"

I was like, "Huh?"  Yah, first and most of all, karena ucapan dia out of context.  Orang guenya lagi sakit, dianya juga gak pernah pedekate atau apa mendadak ngomong gini, dari mana ceritanya? Sebagian dari diri gue juga otomatis menyangsikan.  Nggak mungkin seriuslaaah.  Lagipula setau gue juga dulu dia lagi deketin cewek lain (yang kata kakak-kakak kelas mirip gue hahaha).  And lastly, walaupun predikat ini belum menempel pada gue saat itu, it takes one to know one: kami satu spesies alias buayawan/wati yang flirtatious. Hahaha...

Anyway, bukan di situ inti cerita ini sebenarnya (walaupun kalau kalian penasaran, nggak, kita nggak jadian kok. Loe gila apa? Hahaha).  Gue cuma merasa agak... sedikit... (well, banyak sih) "terganggu" dengan kemiripan jalan hidup gue dan perempuan yang akhirnya menjadi istri almarhum teman gue itu.  Coba ya, kalau nih, misalnya pada saat itu gue jadian sama teman gue itu, apa ujung-ujungnya nggak sama aja? Gue bakal kena kanker juga, trus survive, trus nikah sama dianya susah karena beda agama, trus setelah dia jadi suami gue pun meninggal duluan juga? Well, pemikiran sempit sih kalau percaya parallel universe, tapi kemungkinannya ya begitu, sami mawon.

So, yeah, sedikit banyak gue bisa mengambil kesimpulan bahwa: you can walk a different path, but your destination remains the same. Atau boleh juga dibalik: banyak jalan menuju Roma.  Mau naik pesawat kek, mau naik getek kek, ya ujungnya di sana, mau lewat jalan mana aja, pelajaran yang dipetik mana yang duluan, endingnya bakal tetap sama.  Cuma emang masalahnya kita nggak tau di jalan yang kita pilih untuk tempuh itu bakal ketemu apa aja.. ending-nya itu kapan dan kayak gimana wujudnya.  But that's what keeps life interesting, don't you think? Kalau gak menarik mah bunuh diri aja, gih.

Soooo (lagi), ya udah.. Ngapain mikirin ending-nya. Nikmatin aja jalannya. Ya nggak sih? Karena di situlah letak serunya menjalani hidup, kalau nggak mau dibilang "seni-nya" (agak-agak sotoy soalnya kedengarannya, kayak udah jadi maestro aja).  Walaupun sekarang gue jomblo, punya anak yang mesti dikasih makan pula (susah bok, memasarkan diri dengan spesifikasi seperti ini hihihi), gue yakin everything will be all right--ya "all right" dalam arti baik-baik saja, juga dalam arti "benar adanya".  Nggak ngerti? Nggak papa kok. :)

Ngomong emang gampang, kata orang.  Ets, yang penting gue usaha. Yuk, kita pindah ke Bali tahun 2013! ;)

1 komentar:

  1. hoho! menakjubkan! kok gue jadi teringat cerita yg lagi gue tulis skarang ini ya.. (mungkin gue aja yg sok nyama2in sih, padahal ceritanya ga sama persis lah kyk yg lo tulis.)

    anyway.. i like this post :) and i agree. klo emg udh jalannya (or more like "tujuannya"), whatever you choose to do in life you'll "end up" there!

    BalasHapus